Nyoblos, Wani Piro?

aryo sudaryono
Kenduri demokrasi (pileg) akan segera digelar. Temperatur politik menjadi sangat memanas dengan ketatnya persaingan antar calon legislatif. Tidak ada perbedaan kultur politik dari tahun-tahun sebelumnya. Mengenai suksesi partai politik atas calon yang diusungnya, Money politic masih menjadi topik utama dalam pembahasan politik pra-pemilu.

Budaya politik uang secara sadar telah menyuburkan praktik-praktik haram merajalela dan berdampak buruk. Politik uang meniscayakan para caleg mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk membeli suara rakyat. Modal yang cukup besar. Sedangkan dana parpol maupun caleg belum begitu jelas asalnya. Sehingga ketika telah terpilih, caleg tertuntut untuk mengembalikan dana kampanye yang mahal. Ditahun ini, dari 12 parpol yang lolos, total dana awal kampanye mencapai 1,937 triliun. (Sindo, 3 maret 2014). Jika dihitung-hitung, gajih seorang caleg tingkat daerah maupun pusat belum tentu cukup untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan. Sehingga tak heran jika ada penyelewengan anggaran pemerintah untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Dalam konteks ini, mahalnya dana politik salah satunya disebabkan oleh budaya wani piro (berani berapa) yang juga tidak terlepas dari paradigma masyarakat dan para calon pemimpin yang salah. Bisa dipastikan, menjadi aparatur negara merupakan jalan mudah menjadi kaya. Oleh karena itu, jumlah caleg membeludak dan ironinya tidak berdasarkan kualitas, karena sistem politik yang terbuka dan tidak ada syarat yang khusus untuk menjadi seorang caleg. alhasil banyak ditemui caleg yang hanya lulusan SMA.

Selain itu, kondisi masyarakat saat ini cukup memperihatinkan. Pasalnya mayoritas masyarakat—khususnya pedesaan—memilih pemimpin berdasarkan besaran uang suap dari caleg. Padahal, dengan uang yang diberikan tidak akan menjadikan rakyat kaya, dan tanpa uang suap tersebut juga rakyat akan tetap bisa bertahan hidup. Seolah-olah masyarakat lebih memilih diberi uang suap (dengan nominal seratus sampai dua ratus ribu), namun lima tahun kedepan hak-hak mereka terampas.

Indoseia dengan mayoritas muslim tidak menjamin jalannya sistem interaksi sosial antara calon penguasa dengan rakyat. Islam telah sempurna mengatur terkait hal-hal tersebut dengan jelas, namun kebenaran tersebut terabaikan begitu saja. Dalam kasus politik uang, islam telah memberi petunjuk bahwa “orang yang menyuap dan orang yang disuap sama berdosanya dan akan ditempatkan di neraka” (al-hadits). Namun sebatas angin lalu. Disini implementasi dan peran ajaran agama dalam politik dipertanyakan.

Selain aturan agama yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial termasuk politik, Partai politik dalam hal ini juga memiliki fungsi dan peran yang penting, yaitu melakukan pendidikan politik, (Mariam Budiarjo). Namun realitasnya saat ini, parpol seolah tutup mata dengan fenomena yang ada. Tidak heran, karena merekalah pelaku kerusakan tersebut. Tentunya pendidikan politik tidak akan dilaksanakan, karena jika terlaksana dan maksimal, mereka tidak akan bisa lagi mengelabui dan bermain curang terhadap masyarakat.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, untuk apa parpol dengan jumlah yang banyak berjajar di lingkungan masyarakat? Jika tidak bisa melaksanakan salah satu fungsi dan peran pendidian politik dalam masyarakat yang begitu penting. Pasalnya sejak dahulu masyakat masih belum cerdas menilai politik. Setiap periode parpol selalu bertambah, bukan untuk kepentingan perbaikan negara, akan tetapi hanya untuk mendapatkan kekuasaan. Dibuktikan dengan tidak adanya parpol yang (anggotanya) tidak terlibat kasus korupsi, bahkan ketua umumnya. Sedikit sekali anggota parpol yang berniat suci untuk memperbaiki negara.

Anggota masyarakat yang tercerahkan (cerdas, sholeh,) justru takut untuk terjun dalam dunia politik. Akhirnya politik dikuasai para “perampok”. Wajar jika negara ini tidak bisa tertata dengan rapi, rakyatnya tidak bisa makmur, karena wakil rakyatnya orang yang tidak jelas track recordnya.

Politik adalah mengatur negara. Jika kaum terdidik enggan masuk dan berkiprah di dalamnya, haruskah merelakan negara ini diatur oleh orang-orang jahat? Faunding father bangsa ini adalah orang yang terdidik dan cerdas. Itu yang perlu ditiru oleh generasi selanjutnya dalam memilih calon pemimpinnya, baik dalam tingkat daerah maupun pusat.

Untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar pemimpin saat ini kita harus meniadakan politik uang terlabih dahulu. Karena dampak dari politik uang adalah yang berani keluar uang banyaklah yang akan menang. Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat jeli dan sadar akan keberlangsungan bangsa ini dengan memilih pemimpin secara benar, bukan karena uang yang tidak seberapa.

Untuk mewujudkan masyarakat yang anti Money politic harus dimulai dari sekarang. Banyak aliansi mahasiswa misalnya yang gencar melakukan kegiatan pendidikan politik di berbagai kampus khususnya untuk pemlih muda seperti CEPP (center for election and political parti). Seharusnya pemerintah tanggap dan lebih aktif mensosialisasiakan dampak bahaya dari politik uang dengan memanfaatkan peran lembaga-lembaga masyarakat maupun negara seperti KPU (komisi pemilihan umum).


Tidak cukup dengan sosialisai dari mahasiswa ataupun lembaga lainnya, KPU  yang konsen dalam masalah pemilu seharusnya mempertegas aturan terkait dengan politik uang yang semakin membudaya di masyarakat. Dan sudah selayaknya membatasi jumlah parpol yang masuk dalam kenduri demokrasi. Karena, dengan jumlah parpol yang cukup banyak, membuat masyarakat bingung dengan calon pemimpinnya. Bahkan tidak sedikit dari masyarakat yang sampai saat ini tidak mengenali calon pemimpinnya (calon legislatif). Dengan kenyataan tersebut sulit untuk memperoleh hasil yang maksimal. Wallahu a’lam bi al-shawab



*) Oleh: Aryo Sudaryono

Aktif di Gerakan Masyarakat Anti Suap (GeMAS) dan Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN) Monash Institute Semarang.
0 Komentar untuk "Nyoblos, Wani Piro?"

Back To Top