Dewasa
ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengeluarkan kebijakan yang sangat
kontroversial. Pasalnya, belum lama fluktuasi BBM ramai diperbincangkan di
khalayak umum, ditengah gemuruh badai terkait pencalonan Kepala Polisi Republik
Indonesia (Kapolri) tengah berlangsung, secara mendadak Jendral Sutarman yang
berstatus sebagai Kapolri aktif begitu mudahnya “dicopot” oleh presiden Jokowi
dan digantikan oleh Komjen Badrodin Haiti. Padahal berdasarkan masa
kepemimpinan Kapolri yang diemban, Sutarman baru memasuki masa pensiun pada
Oktober 2015 nanti.
Jokowi
pun telah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) terkait pemberhentian
Sutarman yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi pada hari Jumat, 16 januari
2015. Selain mengeluarkan Keppres pemberhentian Jendral Sutarman, pada saat itu
juga Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres tentang pengangkatan Wakapolri Komjen
Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri.
Ada
pun faktor yang melatar belakangi pencopotan Jendral Sutarman, kabarnya
disebabkan oleh ketidak becusannya dalam menyelesaikan perkara “Obor Rakyat”.
Menurut pakar komunikasi politik, Tjipta Lesmana, pencopotan Sutarman sebagai
orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu karena Presiden Jokowi benci kepada
Sutarman. kebencian itu menurut Tjipta karena Sutarman dinilai tak becus
menuntaskan kasus Majalah Obor Rakyat yang menuding Presiden Jokowi sebagai
'Capres Boneka.
Polemik
Kebijakan
Jokowi memberhentikan Kapolri, Jendral Sutarman, mendapat reaksi keras dari
pelbagai elemen masyarakat. Bahkan, kebijakan tersebut menjadi polemik dan bahan
diskusi menarik dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua sudut pandang
berdeda antara pihak yang pro dan kontra terkait pencopotan Jendral Sutarman.
Pertama,pihak yang mendukung kebijakan
Jokowi. Mereka yang pro terhadap jokowi berdalih pada kinerja Kapolri, Sutarman, yang
selama ini dianggap tidak bisa memunculkan gebrakan dalam menyelesaikan kasus
hukum di Indonesia. Menurut Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas
Padjajaran Bandung, Muradi mengatakan, ada kemungkinan Sutarman dicopot karena
tak ada gebrakan menonjol hingga menjelang 100 hari kepemimpinan Presiden Jokowi
pada 22 Januari nanti. Selain itu, Muradi juga berpendapat bahwa, program
Sutarman dalam membenahi kepolisian juga mengalami degradasi.
Kedua,pihak yang menolak pencopotan
Jendral Sutarman sebagai Kapolri menganggap bahwa Presiden Jokowi terlalu
buru-buru dalam menentukan kebijakan. Pasalnya, ditengah polemik
gunjang-ganjing politik, dengan begitu mudahnya Presiden mengambil keputusan
pemberhentian Kapolri.
Selain
itu, faktor pemberhentian Sutarman sebagai Kapolri juga dipertanyakan sebagian
orang. Sebab, ketika Sutarman telah resmi dicopot oleh Presiden melalui Keppres
yang dikeluarkan pada 16 Januari 2015 lalu. Anehnya, waktu yang sama Keppres
tentang pengganti Kapolri juga ikut dikeluarkan. Yakni, pengangkatan Wakapolri
Komjen Badrodin sebagai Plt. Kapolri. Sontak langkah tersebut mendapat kritik
dari Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra.
Yusril
mengatakan melalui twitter pribadiya; “Mestinya
Presiden dan DPR tahu bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan
satu paket bukan dipisah. Sebab baik pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri
dua2nya harus dg persetujuan DPR,” kata Yusril melalui akun twitter pribadinya
@Yusrilihza_Mhd , Sabtu (17/1/2015).
Dikutip
dari Republika Online, Mantan Menteri
Hukum dan Ham, Yusril kemudian menyebutkan, bisa saja Jokowi memberhentikan
Kapolri dan kemudian mengangkat penggantinya tanpa persetujuan DPR. Namun, hal
itu dapat dilakukan hanya karena alasan-alasan mendesak. Yakni, jika Kapolri
melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara.
Pernyataan
Yusril ini merujuk kepada UU No 2 Tahun 2002 tentang Kapolri pasal 11 yang
mengatur pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Pada pasal 11 itu disebutkan
pada poin ke lima yaitu, “Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan
sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya
dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan tidak adanya
persetujuan yang diminta Jokowi kepada DPR untuk mengangkat Badrodin Haiti
sebagai Pelaksana Tugas Kapolri, Yusril jadi mempertanyakan alasan-alasan apa
yang membuat Presiden tergesa-gesa melakukan pergantian Kapolri. (Republika Online, 17 Januari 2015)
Hak Prerogatif?
Kebijakan
jokowi yang dianggap ngawur oleh sebagian orang berimplikasi terhadap
penyelewengan hak prerogatif yang dimiliki Presiden. Pasalnya, jika ditinjau
dari sudut kewenangan Presiden, maka memang benar, Jokowi berhak mencopot
Kapolri. Sebab, hal ini dipertegas dalam Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan bahwa, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara.
Menurut penjelasan UUD 1945, kekuasaan tersebut termasuk konsekuensi dari
kedudukan Presiden sebagai kepala negara; kedudukan Presiden di dalam Pasal ini
bukan sebagai Commander in Chief
melainkan sebagai konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara, dan yang dimaksud dengan kekuasaan tersebut adalah, bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang komando atas angkatan perang
Indonesia, melainkan wewenang menentukan hal-hal yang strategis saja.
Kendati
demikian, merujuk pada pernyataan Yusril bahwa, Kepala Negara memang berhak
memberhentikan Kapolri, namun jika dihadapkan dengan keadaan yang mendesak.
Yakni; jika Kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara.
Artinya,
dalam konteks ini, kebijakan Jokowi perlu dikaji ulang. Sebab, walaupun
memiliki hak istimewa, namun dia juga kode harus senantiasa patuh terhadap kode
etik dan Undang-undang yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan
polemik yang berkepanjangang hingga berimplikasi terhadap kesimpang siuran
nasib Kapolri Jendral Sutarman.
*) Oleh: Anwar Musyafa'
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Tag :
Politik
0 Komentar untuk "Polemik Nasib Kapolri dan Prerogatif Jokowi"