Politisi Khosh dan High Cost

Slamet Sudaryono
Melihat perpolitikan di negeri ini memang unik karena sistemnya terbuka. Siapapun bisa mencalonkan diri sebagai pemimpin tanpa harus melalui rekrutmen politik yang ketat. Sehingga melahirkan para politisi-politisi karbitan yang tidak berkualitas. Selain itu situasi politik yang berbiaya mahal bukan meningkatkan kwalitas namun justru melahirkan politisi yang materialistic orientation. Sistem yang demikian sangat berpotensi pada menyuburnya korupsi dan praktik kotor lainnya yang sampai saat ini menjadi masalah dasar.

Baik atau justru menjadi buruknya perpolitikan saat ini tak lepas dari peran para politisi. Kegilaan dunia ini menyamarkan hakikat politik dalam mewujudkan kehidupan bahagia (mariam budiarjo) atau the good life dalam pandangan aristotelez. Saat ini politisi sekedar memperebutkan kekuasaan dan mempertahankannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan demikian, apa yang menjadi tujuan mulia politik tidak mudah dicapai secara maksimal—karena pelaku politik saat ini menganut definisi yang salah, bahkan dengan sadar.

Bangsa ini butuh politisi ulung, yang benar-benar secara sadar mengimplementasikan berbagai pandangan posotif tentang politik. Dalam konteks ini Hasan Al-banna berpandangan bahwa politik sebagai “hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat”. Persoalan internal yang dimaksud adalah terkait persoalan fungsi, kewajiban dan hak pemerintahan. Serta melakukan pengawasan terhadap kebijakan penguasa untuk ditaati jika dalam koridor kebenaran dan mengkritiknya jika melakukan kekeliruan.

Sedangkan sisi eksternal dalam kaca mata Hasan Al-banna, yaitu mempertahankan kemerdekan dan kebebasan bangsa, mengawal dan menghantarkan bangsa untuk mencapai tujuan dan mengangkat derajatnya di tengah-tengah bangsa lain. Serta menghapuskan penindasan—baik secara fisik maupun ideologi—termasuk intervensi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Tauladan Khos
Sosok politisi khos sesungguhnya tidak susah untuk dicari, karena telah jelas dicontohkan oleh bapak politik kita Muhammad Saw. Siapa yang tidak mengenal politisi padang pasir, sang revolusioner yang mampu membawa umat manusia menuju kehidupan yang beradab. Membangun kota madinah dengan menghapuskan perbudakan, penindasan serta perbedaaan berdasarkan ras dan suku, menyatukan masyarakat dengan satu ikatan negara—yang diatur dalam piagam Madinah. Kepiawaiannya sebagai pemimpin umat mengharuskan Michael Heart menempatkan sosok Muhammad Saw pada posisi teratas pemimpin berpengaruh sedunia.

Semangat juang Nabi yang tinggi menunjukkan ketulusan dalam menjalankan kepemimpinan politiknya, baik di mekah maupun di madinah. Untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai sejahtera, jihad bi al-amwal (harta) wa an-nafs (jiwa) pun dilaksanakan sesuai perintah Tuhanya. Semangat panggilan dalam memperjuangkan umat salah satunya tampak dengan munculnya negara Madinah (berarti kota) yang semula bernama yatsrib. Kata madinah menunjukkan semangat keberadaban yang terwujud dengan terciptanya lingkungan pluralis namun mampu hidup secara berdampingan.

Nabi telah mencontohkan bagaimana menjadi politisi. Khos dalam konteks ini adalah tidak berorientasi terhadap materi—untuk memenuhi kebutuhan hasrat duniawinya (individualisme dalam kekuasaan). Hal ini dapat dibuktikan dengan keseharian Nabi yang sangat sederhana. Sederhananya Nabi bukan menunjukkan Nabi sebagai pemimpin yang miskin, Nabi adalah sosok pemimpin yang kaya raya karena nabi merupakan pengusaha.

Dengan sokongan dari berbagai kalangan termasuk finansial yang mencukupi, menunjukan kepemimpinan yang berdasarkan panggilan bukan karena “gajian”. Nabi mencurahkan seluruh hartaya untuk perjuangan umat, maka tak heran jika Nabi merasa resah gelisah ketika ada uang di dalam sakunya.

Demikianlah sebagian contoh baik perjuangan Nabi dalam memimpin umat. Teladan tersebut layak dijadikan acuan bagi para politisi saat ini dalam menghadapi umat yang hampir—bahkan—mirip dengan masa jahiliyah (jahiliyah modern) dengan bertupuk-tumpuk PR yang harus diselesaikan. Engan demikian diharapkan muncul atau terwujud politisi khos yang mampu mengemban amanah rakyatnya dengan baik. Karena sekali lagi, pemimpin adalah “babu” bagi rakyatnya yang bertugas melayani.

Salah satu indikator ketulusan seorang pemimpin adalah sengsara. Karena menghabiskan waktunya, hartanya, untuk perjuangan. Bukan sebaliknya kekuasaan dijadikan sebagai kendaraan memperkaya diri seperti saat ini. Bisa dilihat saat ini penguasa sibuk memperkaya diri dengan hak rakyat, yang seharusnya penguasa tak lebih kaya dari rakyatnya atau setidaknya sejajar—meskipun tingkat kesejahteraan tidak semata-mata diukur dengan materi.

Biaya politik yang kian tinggi pun semakin meninggikan harapan masyarakat akan ketulusan para wakil rakyat. Namun pada galibnya justru semakin meyuburkan praktik korupsi. Politisi-politisi saat ini justru terjebak dalam budaya politik high cost. Seolah dalam berperan sebagai politisi telah terpasang tarif untuknya. Mendapatkan kekuasaan dengan berbagai cara bahkan menghalalkan semua cara seperti money poitic, sehingga mengharuskan politisi berada pada posisi yang tidak ingin dirugikan dalam kekuasaan. Mengingat tingginya biaya politik yang dikeluarkan untuk “membeli” suara rakyat.

Perjuangan yang diawali dengan cara tidak baik dan ketidak tulusan mengabdi akan berujung pada semakin tidak jelasnya nasib Bangsa. Politik sesungguhnya baik dan bertujuan mulia, namun saat ini menjadi buruk dan kotor tak lain karena perilaku politiknya yang hanya terfokus pada “Tuhan” yang salah. Uang telah menghipnotis dan berbalik sebagai tuhan bagi para politisi high cost dalam kekuasaan dan perjuangan. Wallahu a’lam bi al-shawab.


*) Oleh: Slamet Sudaryono

Aktif di Lembaga Studi Agama Dan Nasionalisme (LeSAN) IAIN Walisongo Semarang, Presiden Monash Institute.
Tag : Politik
0 Komentar untuk "Politisi Khosh dan High Cost"

Back To Top