Melihat
perpolitikan di negeri ini memang unik karena sistemnya terbuka. Siapapun bisa
mencalonkan diri sebagai pemimpin tanpa harus melalui rekrutmen politik yang
ketat. Sehingga melahirkan para politisi-politisi karbitan yang tidak
berkualitas. Selain itu situasi politik yang berbiaya mahal bukan meningkatkan
kwalitas namun justru melahirkan politisi yang materialistic orientation. Sistem yang demikian sangat berpotensi pada
menyuburnya korupsi dan praktik kotor lainnya yang sampai saat ini menjadi masalah
dasar.
Baik
atau justru menjadi buruknya perpolitikan saat ini tak lepas dari peran para politisi.
Kegilaan dunia ini menyamarkan hakikat politik dalam mewujudkan kehidupan
bahagia (mariam budiarjo) atau the good life dalam pandangan aristotelez.
Saat ini politisi sekedar memperebutkan kekuasaan dan mempertahankannya untuk
kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan demikian, apa yang menjadi tujuan
mulia politik tidak mudah dicapai secara maksimal—karena pelaku politik saat
ini menganut definisi yang salah, bahkan dengan sadar.
Bangsa
ini butuh politisi ulung, yang benar-benar secara sadar mengimplementasikan
berbagai pandangan posotif tentang politik. Dalam konteks ini Hasan Al-banna berpandangan
bahwa politik sebagai “hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun
eksternal umat”. Persoalan internal yang dimaksud adalah terkait persoalan
fungsi, kewajiban dan hak pemerintahan. Serta melakukan pengawasan terhadap
kebijakan penguasa untuk ditaati jika dalam koridor kebenaran dan mengkritiknya
jika melakukan kekeliruan.
Sedangkan
sisi eksternal dalam kaca mata Hasan Al-banna, yaitu mempertahankan kemerdekan
dan kebebasan bangsa, mengawal dan menghantarkan bangsa untuk mencapai tujuan
dan mengangkat derajatnya di tengah-tengah bangsa lain. Serta menghapuskan
penindasan—baik secara fisik maupun ideologi—termasuk intervensi dari
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tauladan Khos
Sosok
politisi khos sesungguhnya tidak
susah untuk dicari, karena telah jelas dicontohkan oleh bapak politik kita Muhammad
Saw. Siapa yang tidak mengenal politisi padang pasir, sang revolusioner yang
mampu membawa umat manusia menuju kehidupan yang beradab. Membangun kota
madinah dengan menghapuskan perbudakan, penindasan serta perbedaaan berdasarkan
ras dan suku, menyatukan masyarakat dengan satu ikatan negara—yang diatur dalam
piagam Madinah. Kepiawaiannya sebagai pemimpin umat mengharuskan Michael Heart menempatkan sosok Muhammad Saw pada posisi teratas pemimpin
berpengaruh sedunia.
Semangat
juang Nabi yang tinggi menunjukkan ketulusan dalam menjalankan kepemimpinan
politiknya, baik di mekah maupun di madinah. Untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat yang damai sejahtera, jihad bi
al-amwal (harta) wa an-nafs
(jiwa) pun dilaksanakan sesuai perintah Tuhanya. Semangat panggilan dalam memperjuangkan umat salah satunya tampak dengan
munculnya negara Madinah (berarti
kota) yang semula bernama yatsrib. Kata madinah menunjukkan semangat
keberadaban yang terwujud dengan terciptanya lingkungan pluralis namun mampu
hidup secara berdampingan.
Nabi telah mencontohkan bagaimana menjadi politisi. Khos dalam konteks ini adalah tidak
berorientasi terhadap materi—untuk memenuhi kebutuhan hasrat duniawinya (individualisme
dalam kekuasaan). Hal ini dapat dibuktikan dengan keseharian Nabi yang sangat
sederhana. Sederhananya Nabi bukan menunjukkan Nabi sebagai pemimpin yang
miskin, Nabi adalah sosok pemimpin yang kaya raya karena nabi merupakan
pengusaha.
Dengan sokongan dari berbagai kalangan termasuk
finansial yang mencukupi, menunjukan kepemimpinan yang berdasarkan panggilan
bukan karena “gajian”. Nabi mencurahkan seluruh hartaya untuk perjuangan umat,
maka tak heran jika Nabi merasa resah gelisah ketika ada uang di dalam sakunya.
Demikianlah sebagian contoh baik perjuangan Nabi dalam
memimpin umat. Teladan tersebut layak dijadikan acuan bagi para politisi saat
ini dalam menghadapi umat yang hampir—bahkan—mirip dengan masa jahiliyah
(jahiliyah modern) dengan bertupuk-tumpuk PR yang harus diselesaikan. Engan
demikian diharapkan muncul atau terwujud politisi khos yang mampu mengemban
amanah rakyatnya dengan baik. Karena sekali lagi, pemimpin adalah “babu” bagi
rakyatnya yang bertugas melayani.
Salah satu indikator ketulusan seorang pemimpin adalah
sengsara. Karena menghabiskan waktunya, hartanya, untuk perjuangan. Bukan
sebaliknya kekuasaan dijadikan sebagai kendaraan memperkaya diri seperti saat
ini. Bisa dilihat saat ini penguasa sibuk memperkaya diri dengan hak rakyat,
yang seharusnya penguasa tak lebih kaya dari rakyatnya atau setidaknya sejajar—meskipun
tingkat kesejahteraan tidak semata-mata diukur dengan materi.
Biaya politik yang kian tinggi pun semakin meninggikan
harapan masyarakat akan ketulusan para wakil rakyat. Namun pada galibnya justru
semakin meyuburkan praktik korupsi. Politisi-politisi saat ini justru terjebak
dalam budaya politik high cost. Seolah
dalam berperan sebagai politisi telah terpasang tarif untuknya. Mendapatkan
kekuasaan dengan berbagai cara bahkan menghalalkan semua cara seperti money poitic, sehingga mengharuskan politisi
berada pada posisi yang tidak ingin dirugikan dalam kekuasaan. Mengingat tingginya
biaya politik yang dikeluarkan untuk “membeli” suara rakyat.
Perjuangan yang diawali dengan cara tidak baik dan
ketidak tulusan mengabdi akan berujung pada semakin tidak jelasnya nasib Bangsa.
Politik sesungguhnya baik dan bertujuan mulia, namun saat ini menjadi buruk dan
kotor tak lain karena perilaku politiknya yang hanya terfokus pada “Tuhan” yang
salah. Uang telah menghipnotis dan berbalik sebagai tuhan bagi para politisi high cost dalam kekuasaan dan
perjuangan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*) Oleh:
Slamet Sudaryono
Aktif di Lembaga Studi Agama Dan
Nasionalisme (LeSAN) IAIN Walisongo Semarang, Presiden Monash Institute.
Tag :
Politik
0 Komentar untuk "Politisi Khosh dan High Cost"