![]() |
Oleh: Zahrotur Rochmah* |
Mengajar, dalam konteks tersebut, seringkali menjadi sebuah tantangan bagi pengajar. Sebab, ketika seorang guru hendak mengajar, tentu mereka akan mempersiapkan segala materi yang akan disampaikan dengan baik supaya tidak kalah dengan murid mereka. Artinya, keadaan guru benar-benar siap menerima pertanyaan-pertanyaan sesulit apapun dari peserta didik. Karena itu, dalam setiap aktivitas belajar mengajar, selain murid menerima asupan dari guru, kapasitas intelektual seorang guru yang benar-benar memiliki niat kuat untuk mendidik juga akan meningkat. Dalam konteks ini pula, pada dasarnya proses belajar mengajar antara murid dan guru, sama saja dengan belajar bersama. Hanya saja, guru lebih dahulu melewati dunia pendidikan dari pada murid, sehingga mampu untuk menjalankan peran sebagai tutor dalam pertemuan antara guru dan murid. Itulah salah satu sebab seorang guru mendapat apresiasi dalam masyarakat dengan mendapatkan julukan-julukan mulian, di antaranya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab, mereka mengajar dengan penuh semangat dan niat yang kuat demi mencerdaskan kehidupan bangsa, meskipun usaha mereka seringkali tidak mendapatkan imbalan yang memadai, bahkan harus berkorban banyak hal yang dimiliki.
Namun, yang sangat disayangkan saat ini adalah profesi sebagai guru justru menjadi incaran banyak orang sebagai ladang mencari uang. Apalagi setelah terdapat program Pemerintah untuk menaikkan gaji guru melalui sertifikasi. Orientasi ini mengakibatkan paradigma pengajar menjadi rusak. Dan kerusakan ini cepat atau lambat telah menular kepada para peserta didik. Menjadi guru tidak dilandasi atas dasar keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan negara yang semakin lama semakin mengalami kerusakan. Juga bukan atas dasar untuk memperbaiki negara melalui pemuda-pemuda penerus bangsa. Namun, aktivitas mengajar lebih dilatarbelakangi oleh motif karena melihat kondisi saat ini bahwa peluang untuk menjadi guru sangatlah mudah dan menghasilkan keuntungan material yang cukup menggiurkan.
Ironisnya lagi, dengan gaji yang demikian tingginya, ternyata masih banyak guru yang merasa tidak puas dengan imbalan yang mereka terima. Cukup sering para guru dengan tanpa ada rasa malu melakukan aksi demonstrasi agar pemerintah menaikkan gaji pengajar. Penyebab paling kentara atas permasalahan tersebut adalah karena gaji yang mereka terima tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di satu sisi ini memang kegagalan Pemerintah. Namun, di sisi lain, ada kesan yang sangat naïf pada para guru yang melakukan aksi itu.
Guru sering dijadikan sebagai akronim Jawa “digugu lan ditiru” (dipercaya dan dicontoh). Tentunya tidak hanya dalam aspek keilmuan dan pemikiran saja, tetapi juga mencakup semua prilaku, sikap, etika, bahkan gaya hidup. Dalam konteks ini, pada umumnya guru sekarang sangatlah beda dengan para guru di masa lalu. Dulu, seorang pengajar sangatlah serius dalam mengajar, meskipun tanpa adanya imbalan sepeser pun dari Pemerintah maupun murid-muridnya. Perjuangan yang dilakukan oleh guru di masa lalu, sangatlah keras. Bahkan mereka rela mengorbankan hidupnya hanya untuk melayani generasi muda, agar memiliki wawasan dan ilmu yang cukup untuk menjalani kehidupan secara lebih mulia.
Meskipun perjalanan yang mereka tempuh untuk sampai ke tempat mengajar sangat jauh dan hanya dengan mengayuh sepeda, tetapi itu tidak mengurangi semangat perjuangan sebagai guru. Dan perlu diingat kembali bahwa perjuangan mereka itu tanpa bayaran maupun imbalan dari pihak manapun. Dengan demikian, bila kita bandingkan, pengorbanan antara guru saat ini dengan yang dahulu, sangatlah jauh beda. Meskipun sistem pengajaran dahulu tidak didukung oleh alat-alat yang terbilang canggih, tetapi hasilnya pun tak kalah jauh dengan manusia sekarang ini. Bahkan, kecerdasan orang-orang zaman dulu, lebih baik daripada generasi zaman modern ini.
Dalam konteks ini, sesungguhnya pengajar saat ini telah kehilangan orientasi yang telah digarikan oleh tokoh-tokoh pendidikan. Apabila pendidikan didirikan untuk menghilangkan kebodohan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan tujuan megara yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI tahun 1945 alinea ke-4, maka sesungguhnya pendidikan sekarang ini dapat dikatakan telah mengalami kegagalan. Banyak guru yang mengajar hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban, karena akan mendapatkan gaji atas pekerjaan mengajar itu.
Inilah yang menyebabkan tidak sedikit guru yang ketika mengajar tidak mempedulikan murid-muridnya. Sebab, mereka merasa tidak memiliki kepentingan untuk membuat anak didiknya menjadi cerdas dan akan memiliki kemampuan lebih untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalah kehidupan di masa depan. Bagi mereka yang terpenting adalah mengajar dan mendapat imbalan material. Mereka tidak ambil peduli terhadap kondisi para perkembangan para peserta didik. Oleh karena itu, peran pemerintah, masyarakat, generasi muda, dan pendidikan sangatlah penting untuk memperbaiki kondisi ini. Dengan begitu, akan lahir kembali para pendidik yang memiliki paradigma lurus tentang pendidikan dan orientasi menjadi pendidik, sehingga dunia pendidikan akan benar-benar menghasilkan SDM-SDM dengan kualitas yang lebih baik, tidak hanya mementingkan materi duniawi, tetapi yang lebih penting lagi adalah nilai-nilai yang adiduniawi. Wallahu a’lamu bi al-Shawab
*) Mahasiswi Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Asisten Guru di PAUD Islam Mellatena, dan Penerima Beasiswa Unggulan Monash Institute. Tayang di Koran Pelita.
Tag :
Pendidikan
0 Komentar untuk "Guru; Antara Kini dan Dulu"