Judul
Buku : Agama Punya Seribu Nyawa
Penulis : Komaruddin Hidayat
Penerbit : Noura Books
Tebal : XXV + 281 halaman
Akhir-akhir
ini keberlangsungan agama di pertanyakan. Agama sering dianggap telah kuno dan sudah
tidak relevan pada zaman modern ini. Bahkan, munculnya terorisme dan kekerasan
atas nama agama menjadikan agama
menyandang asumsi negative, sumber pertikaian. Kemudian, bagaimana nasib agama
dimasa depan? Mungkinkah agama akan mati?
Dalam
buku “agama punya seribu nyawa”, Komaruddin Hidayat mencoba menjawab pertanyaan
di atas. Dia menerangkan hakikat agama dan kebutuhan manusia terhadapa agama.
Banhkan , menyatakan bahwa agama adalah pelita kehidupan. Agama tidak bisa
difahami secala lahirnya saja. Sering kali orang beragama tidak bisa mersakan
esensi agama itu sendiri. Akhirnya, orang tersebut hanya menjadi makhluk
material dan bukan makhluk sepiritual. Dalam bahasa lain orang tersebut
menderita penyakit rohani. Sehingga tidak bisa membedakan baik dan buruk.
Tidak
hanya itu, penulis juga menyatakan bahwa pluralisme agama adalah keniscayaan.
“ragam agama dan mazdhab itu laksana ratusan sungai yang mengalir dari berbagai
penjuru arah, melewati berbagai daratan, lembah, dan pegunungan yang
berbeda-beda, namun, muaranya satu adanya, yakni samudra”. Begitulah pernyataan
penulis dalam mengibaratkan perbedaan agama. Menurutnya, Tuhan bagaikan samudra
kasih yang senantiasa menampung dan merindukan ruh manusia untuk kembali
menyatu denaganNya. Dari manapun dan apapun yang terbawa oleh sungai, samudra
tidak akan menolak. Bahkan menetralisir kotoran-kotoran yang dibawa.
Akan
tetapi, sering kali terjadi kecemburuan diantara umat beragama dalam
memperebutkan kasih Tuhan. Tak jarang mereka saling mengangkat senjata dan
menumpahkan darah. Memang, ada kesan tidak rela jika ada orang yang bebeda
agama masuk surga. Bahkan, ada doktrin agama yang menyatakan bahwa orang yang
berbeda agama adalah kafir dan membunuhnya mendapat pahala. Doktrin tersebut
sangat kuat, terutama dalam agama Islam dan Kristen. Maka, tak mengherankan
Perang mereka pun disebut “holy war” (baca; Perang Suci).
Problem
trut claim sebenarnya harus segera diakhiri. Jika tidak, maka umat
manusia akan menyaksikan pertumpahan darah antar umat beragama semakin seru dan
merata. Disini penulis melontarkan pertanyaan yang menggelitik para pembaca,
“Mestikah beragama disertai sikap cemburu dan benci terhadap mereka yang
berbeda keyakinan? Kalau seseorang telah yakin dan merasa benar serta nyaman
dengan ajaran dan praktik keberagamaannya, bukankah kenyamanan itu yang
mestinya disebarluaskan?”.
Kemudian,
konflik agama tersebut membuat beberapa orang elergi terjadap agama. Sehingga
muncul gerakan politik dan pemikir yang secara terang-terangan memusuhi agama.
Bahkan kalau perlu dihapuskan saja. Misalnya Lenin, Mark, Richard Dawkins yang
secara sistematis membangun argument ilmiah-rasioanal untuk meragukan agama.
Akan
tetapi semua itu tidak menenggalamkan agama. Malahan kini semangat dan
militansi agama semakin kuat. Bahkan ramalan para pemikir modern yang
mengatakan ketika ilmu pengetahuan dan tegnologi telah maju agama akan mati
tanpa di basmi dan Tuhan dianggap telah pensiun itu pun meleset. Agama masih
hidup dan tetap eksis. Karena pada kenyataannya banyak persoalan kehidupan yang
tidak bisa dijawab oleh iptek modern. Jadi, “ sepanjang manusia masih nyambung
dengan akar primodialnya Yang Sejati, nyawa-nyawa agama senantiasa subur dan
abadi”. Itulah kalimat dari penulis.
Buku
ini mengajarkan sikap toleransi agama sekaligus tetap menjaga identitas agama
masing-masing. Maka,layak dibaca siapapun. Khususnya mereka yang mengalami
kekecewaan pada agama dan yang suka menyebarkan agama dengan pedang serta
mempunyai kecemburuan berlebihan dalam merebutkan kasih Tuhan. Selamat membaca!
*) Oleh: Zaimuddin Ahya'. Peneliti di IDEA Studies; Aktivis PMII Semarang
Tag :
Resensi Buku
0 Komentar untuk "Agama Tidak Akan Mati"