Indonesia di Antara ‘Kami dan Kamu’

Kumarudin
“Persatuan Indonesia,” inilah salah satu sila yang ada pada Pancasila. Sila ini memiliki filosofi yang sangat dalam. Terlebih dalam percaturan kemerdekaan bangsa. Sejarah mencatat bahwa persatuan itu merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar, untuk ditegakkan dalam masyarakat mejemuk ini (Indonesia). Bahkan sila ini jugalah yang telah menjadi salah satu modal utama dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah.

          Hal ini dapat dilihat dari perdebatan panjang para founding fathers bangsa. Tepatnya antara Soekarno, sebagai kubu nasionalis, dan M. Natsir, sebagai kubu agamis, yang keduanya sama-sama ingin menuangkan dan memperjuangkan gagasannya terkait bentuk dasar Negara bagi bangsa ini. Apakah Islam atau Pancasila.

            Seperti yang kita ketahui, M. Natsir, menghendaki bahwa negara ini  dibentuk dasar Islam. Sedangkan Soekarno menghendaki negara ini dibentuk atas dasar Pancasila. Natsir menhendaki Indonesia dibentuk atas dasar Islam, mengingat mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam.  Natsir juga mempercayai bahwa Islam itu rahmatan lil ‘alamin. Sebagai jalan hidup (way of life), Islam harus diejawantahkan dalam kehidupan secara paripurna. Termasuk dalam sistem ketatanegaraan.

            Namun, hal itu disanggah oleh Soekarno. Soekarno berasumsi bahwa Pancasila itu bersesuaian dengan Islam. Karena itu, Islam tidak perlu ditegakkan secara formal di Indonesia. Jika Islam ditegakkan dalam Indonesia, maka Indonesia akan bubar. Sebab, masyarakat Indonesia itu majemuk, termasuk dalam agama (Kristen, Hindu, Budha, dll).

Memaksakan Islam hadir dalam wajah formal hanya menjadikan bangsa ini menjadi terpetakan. Bahkan, secara langsung atau tidak langsung akan mensubordinir atau menomorduakan pihak-pihak non-Islam. Dan di saat itu pula, umat non-Muslim akan memisahkan dari bangsa ini.

            Soekarno barangkali sepakat jika Islam ditegakkan. Akan tetapi, ada hal yang lebih prinsipil lagi daripada menegakkan Islam sebagai dasar Negara. Hal prinsipil tersebut ialah persatuan bangsa. Sebab, pada saat itu yang Indonesia masih belum sepenuhnya lepas dari cengkeraman penjajah, yang dibutuhkan bangsa ini adalah persatuan, bukan perpecahan.

Oleh sebab itu, demi banar-benar lepas dari penjajah, menurutnya, bangsa Indonesia harus disatukan dalam satu bingkai yang, satu dan yang lainnya tidak ada yang keberatan. Dan, satu-satunya bingkai yang memungkinkan dan paling cocok adalah Pancasila. Dengan Pancasila, Indonesia tidak menjadi umat Islam, juga Kristen, atau lainnya. Akan tetapi, Indonesia adalah milik bersama. Yaitu milik kita.

           Dengan berbagai argumen dari masing-masing pihak, alhasil perdebatan itu dimenangkan oleh Soekarno. Pancasila benar-benar menjadi dasar negara hingga saat ini. Dan, persatuan bangsa ini masih terpelihara dengan sedemikian rupa. Pancasila juga masih sangat relevan terhadap perkembangan zaman yang semakin menglobal. Tidak hanya itu, bahkan Pancasila juga telah menjadi ciri khas daripada bangsa ini.

Indonesia: Kamu dan Kami?
            Namun, bangsa ini seolah telah melupakan sejarahnya. Persatuan yang sejatinya tetap dijaga dan dipelihara, nampaknya sudah tidak lagi diperhatikan. Hal ini begitu nampak mulai menjelang pemilu presiden (pilpres) 2014 hingga dewasa ini. Diketahui, menjelang pilpres, marak sekali kampanye hitan (black campaign). Pasca pilpres, antara kedua belah kubu Indonesia Hebat di satu sisi, dan Koalisi Merah Putih (KMP) di sisi lain, sebelum komisi pemilihan umum (KPU) secara resmi mengumumkan siapa pemenang pilpres, kedua belah pihak sudah saling mengklaim atas kemenagan pilpres.

Lebih dari itu, menjelang pengumuman Pilpres secara resmi yang dilakukan oleh KPU, pihak KMP tiba-tiba mendeklarasikan menolak hasil dan mengundurkan diri dari Pilpres 2014. Lebih lanjut, setelah KPU mengumumkan hasil Pilpres bahwa Jokowi-JK-lah yang keluar sebagai pemenang, KMP menggugat hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dalih bahwa Pilpres 2014 penuh manipulasi, bahkan nuansa suara siluman. Setelah kalah di MK, KMP pun melanjut ke MA dan institusi lainnya.

Juga baru-baru ini kita dikejutkan dengan usulan KMP terkait RUU Pilkada. Seperti kita tahu, RUU Pilkada yang semula dilakukan secara langsung, akan diubah secara tidak lansung, dilakukan oleh DPRD. Dan inilah pihak Jokowi-JK sangat keberatan, dengan berbagai argumentasinya.

Di satu sisi, setelah diketok palu oleh DPR, diisukan bahwa SBY pun turut kecewa atas disahkannya RUU tersebut. SBY pun juga dikabarkan tidak mau menandatangainya, bahkan akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu).

Dan di lain sisi, presiden terpilih Jokowi pun menghimbau rakyat agar “mencacat” partai apa saja yang telah merenggut hak-hak rakyat—sesuatau yang sebetulnya kurang begitu pas dilakukannya. Dan di samping itu, disinyalir KMP juga akan mengusulkan RUU Pilpres, bahwa Pilpres dilakukan lagi oleh MPR. Juga akan merevisi UU tentang KPK.

Memang akhir-akhir ini wajah dunia perpolitikan Indonesia terlihat tampat buram. Antara pihak satu dengan pihak yang lain seolah saling mencurigai. Atau bahkan bisa dikatakan saling menjegal. Sehingga, yang ada kini hanyalah bahwa pihak yang pendukung KMP adalah kami, bukan kamu, juga sebaliknya.

Hal itu berkonsekuensi logis bahwa kepentingan pribadi dan golongan tertentu sudah diprioritaskan, di atas kepentingan bersama, yakni membangun Indonesia. Sehingga, yang ada bukanlah Indonesia itu kita, tetapi kami dan kamu yang itu sarat perpecahan.

Hal ini tentunya sangat disayangkan. Sebab, ini sarat dengan perpecahan. Kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia dipertaruhkan. Padahal, Indonesia saat ini sedang butuh persatuan untuk memajukan bangsa ini supaya dapat bersaing dengan bangsa lain. Jika persatuan belum terpenuhi, maka untuk menuju ke sana akan sebatas utopis. Bahkan, sangat memungkinkan Indonesia akan menuju jurang kehancuran.

          Kita tentu masih ingat wacana beberapa waktu silam yang memprediksi bahwa NKRI ini akan pecah menjadi beberapa negara. Misalkan saja Djuyoto. Ia memprediksi bahwa Indonesia “pecah” menjadi 17 kepingan negeri-negeri kecil di tahun 2015. Tidak sekedar wacana oral semata, bahkan prediksi tersebut pun telah ia jadikan sebuah buku berjudul: Tahun 2015 Indonesia ‘Pecah’.

Dalam buku terbitan tahun 2007 tersebut, setidaknya  ia menyatakan bahwa paling tidak ada tujuh faktor utama yang akan menyebabkan Indonesia terpecah. Ketujuh factor tersebut ialah kepentingan rimordial (kesamaan etnis), ikatan ekonomis (kepentingan bisnis), ikatan kultur (kesamaan budaya), ikatan ideologis (kepentingan politik), ikatan regilius (membangun negara berdasar agama).

Dan, pertanyaan besarnya adalah apakah serentetan peristiwa politik belakangan ini akan menjadi pemecah bangsa ini? Jika ini dikontekskan pada prediksi Djuyoto, maka ini termasuk penyebab perpecahan negara ini dari faktor ikatan ideologis (kepentingan politik). Perlu dicatat, tidak lama lagi kita memasuki tahun 2015. Apakah prediksi itu menjadi kenyataan? Tentu kita berharap tidak. Karena itu, wajib bagi kita untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.  Wallahu’alam




*) Oleh: Kumarudin
Peneliti Muda di Monash Institute dan Ketua Umum HMI Komisariat Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Tayang di Solopos tahun 2014

Tag : Politik
0 Komentar untuk "Indonesia di Antara ‘Kami dan Kamu’"

Back To Top