Dewasa ini gender masih sering
diperbincangkan dalam berbagai diskursus, baik yang bersifat nasional maupun
internasional. Bahkan, berbagai diskursus tersebut tidak jarang mendapat
sambutan hangat dari kalangan perempuan, terutama bagi mereka yang mengklaim
diri sebagai aktivis gender. Namun, sampai
saat ini, tidak sedikit perempuan yang masih belum sadar akan hal
itu—dalam artian belum mengindahkan berbagai wacana yang sering
digencarkan—terutama upaya untuk meningkatkan martabat kaum perempuan.
Hal tersebut dapat kita lihat secara
faktual dilingkungan masyarakat dijaman jahiliyah modern ini, terbentukanya model
perdagangan perempuan dengan konsep menjajakan postur tubuhnya melalui berbagai
media kepada khalayak umum. Memang sungguh ironis, pasalnya citra perempuan ini dianggap sebagai barang yang memiliki
nilai murah. Padahal sejatinya perempuan merupakan sosok yang memiliki kemampuan
lebih dalam berbagai hal. Kondisi tersebut, terbukti dalam kehidupan masyarakat
yang secara kuantitas dan kualitas didominasi oleh kaum perempuan. Mampu
memberikan terobosan terbaru dengan memberikan perubahan revolusioner. Misalnya,
untuk membentuk karakter anak dalam keluarga, kaum perempuan lebih memilki peran signifikan
daripada laik-laki.
Dalam buku “Gender dalam
Tranformasi Sosial” oleh Mansur Faqih memberikan gambaran bahwasanya,
betapa berat peran perempuan dalam kehidupan masayarakat. Terutama dalam
kehidupan keluarga. Perempuan memiliki peran berlebih (Under Burden) jika
dibandingakn dengan peran laki-laki. Mulai dari fajar hingga terbenamnya
matahari, kaum perempuan dengan segala kekuatan fisik maupun non-fisik mencurahkannya untuk
kehidupan keluarga. Terlebih, kaum perempuan yang terjun dalam dunia karir. Mereka harus mampu
memanajemen waktu, agar tidak terjadi ketimpangan sosial dalam keluarga.
Akan tetapi, dalam dunia karir seringkali
kaum perempuan terjebak dalam pusaran
komoditas yang bias terhadap gender. Sehingga dimanfaatkan oleh medioker-medioker
yang tidak bertanggungjawab dengan motif mendapatkan prestise yang bersifat
materi semata, tanpa melihat implikasi urgen terhadap kaum perempuan. Dalam
dunia industri periklanan banyak sekali kebobrokan moral yang terpublikasikan
oleh media. Mayoritas perempuan dijadikan sebagai objek dan figur dengan
menonjolkan keindahan lekuk tubuh untuk menarik kosumen.
Banyak wanita mengaktualisasikan
diri dengan cara yang kurang bisa diterima oleh masyarakat. Misalnya, menjadi
bintang atau model suatu produk dengan memamerkan aurat. Contohnya bintang
“film panas”. Mereka rela memamerkan anggota tubuh demi kaum pria asalkan
mendapatkan pundi-pundi uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tanpa sadar, diri
mereka sudah menjadi bagian dari ekploitasi. Tanpa mereka sadari pula, nilai seorang wanita menurun dimata orang-orang
sekitar.( Suara Merdeka, 28 Juli 2010)
Dalam buku “The Feminine Mustique”
karya Feminis Betty Fredan (1963), menjelaskan bahwa begitu banyaknya perempuan-perempuan
yang berpendidikan tinggi tidak punya masalah keuangan, namun merasa tidak bahagia
dalam kehidupannya. Pasalnya, Mereka tidak mampu merumuskan persoalannya secara
gamblang dan terbuka dan lebih dominan menyalahkan iklan, atas ketidak berpihaknya terhadap kebahagiaan sejati bagi kaum perempuan.
Sesuai dengan posisi perempuan yang telah termanipualasi oleh industri
periklanan yang terus menerus menjadi “label produk panas” disetiap tayangan
media.
Emansipasi Komoditas
Ketika kaum perempuan ingin memunculkan
eksistensi diri dan diakui oleh masyarakat
melalui media. Dengan memebawa harkat, martabat, dan derajat ketingkat
atas laki-laki. Justru, kemunculan tersebut dijadikan sebagai komoditas oleh
berbagai industri periklanan yang
mengerucut pada eksploitasi diri.
Menilik sejarah seorang founding
father kaum perempuan, yaitu RA. Kartini. Beliau merupakan figur mandiri
yang memperjuangkan kaum perempuan. Dengan menanamkan pendiddikan umum maupun
pendidikan moral. Sehingga kaum perempuan mampu menguasai pengetahuan seluas
kaum pria. Walaupun banyak kaum perempuan yang memilki peluang besar terjun
dalam dunia karir khusunya industri periklanan. Dan dianggap mandiri dengan
menghidupui kebutuhannya sendiri. Akan tetapi, wanita tetaplah wanita yang
harus mengakui kodrat mereka, yang setelah menikah akan menjabat sebagai
seorang istri atau ibu. Walaupun ingin membuktikan eksisitensi diri melalui
bentuk aktualisasi diri dihadapan publik, wanita harus menjaga kehormatan diri
serta benar-benar menunjukkan emansipasi yang telah digenggam secara benar.
Jadilah wanita yang mandiri dengan mengangungkan “emansipasi komoditas”.
Dalam arti wanita yang seringkali dianggap rentan mengalami pelecehan seksual,
penganiayaan, pemerkosaan, dan kekerasan. Mampu memberikan komiditas dengan
kualitas intektual yang memiliki nilai. Misalnya, para emansipator yang
memvisualikan intelektualnya melalui tulisan, dan karya lainnya. Sehingga memilki
komoditas yang layak jual. Dari sini
seorang wanita harus meningkatkan
kecerdasan sosial-ekonomi dalam masyarakat. Serta mengetahui dan memahami beberapa konsep dari
media Literacy (how creted this message,
what techniqueare used to attarct the attention, what lifestyles, values, and point from message?).
Dan memberikan stigma baik tentang diri wanita sehingga tidak lagi dijadikan
objek eksploitasi dan tidak dijadikan “Permainan Bebas Tubuh” oleh media
industri periklanan. Wallahu a’lam bis showab.
*)Oleh: Mufidatun Ni’mah
Aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam
Bidang Pemberdayaan Perempuan
Tag :
Moralitas & Budaya
0 Komentar untuk "Perempuan dalam Komoditas Sosial"