Perempuan dalam Komoditas Sosial

Mufidatun Ni’mah
Dewasa ini gender masih sering diperbincangkan dalam berbagai diskursus, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Bahkan, berbagai diskursus tersebut tidak jarang mendapat sambutan hangat dari kalangan perempuan, terutama bagi mereka yang mengklaim diri sebagai aktivis gender. Namun, sampai  saat ini, tidak sedikit perempuan yang masih belum sadar akan hal itu—dalam artian belum mengindahkan berbagai wacana yang sering digencarkan—terutama upaya untuk meningkatkan martabat kaum perempuan.

Hal tersebut dapat kita lihat secara faktual dilingkungan masyarakat dijaman jahiliyah modern ini, terbentukanya model perdagangan perempuan dengan konsep menjajakan postur tubuhnya melalui berbagai media kepada khalayak umum. Memang sungguh ironis, pasalnya citra  perempuan ini dianggap sebagai barang yang memiliki nilai murah. Padahal sejatinya perempuan merupakan sosok yang memiliki kemampuan lebih dalam berbagai hal. Kondisi tersebut, terbukti dalam kehidupan masyarakat yang secara kuantitas dan kualitas didominasi oleh kaum perempuan. Mampu memberikan terobosan terbaru dengan memberikan perubahan revolusioner. Misalnya, untuk membentuk karakter anak dalam keluarga, kaum  perempuan lebih memilki peran signifikan daripada laik-laki.

Dalam buku “Gender dalam Tranformasi Sosial” oleh Mansur Faqih memberikan gambaran bahwasanya, betapa berat peran perempuan dalam kehidupan masayarakat. Terutama dalam kehidupan keluarga. Perempuan memiliki peran berlebih (Under Burden) jika dibandingakn dengan peran laki-laki. Mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari, kaum perempuan dengan segala kekuatan fisik  maupun non-fisik mencurahkannya untuk kehidupan keluarga. Terlebih, kaum perempuan yang  terjun dalam dunia karir. Mereka harus mampu memanajemen waktu, agar tidak terjadi ketimpangan sosial dalam keluarga.

Akan tetapi, dalam dunia karir seringkali kaum perempuan terjebak  dalam pusaran komoditas yang bias terhadap gender. Sehingga dimanfaatkan oleh medioker-medioker yang tidak bertanggungjawab dengan motif mendapatkan prestise yang bersifat materi semata, tanpa melihat implikasi urgen terhadap kaum perempuan. Dalam dunia industri periklanan banyak sekali kebobrokan moral yang terpublikasikan oleh media. Mayoritas perempuan dijadikan sebagai objek dan figur dengan menonjolkan keindahan lekuk tubuh untuk menarik kosumen.
Banyak wanita mengaktualisasikan diri dengan cara yang kurang bisa diterima oleh masyarakat. Misalnya, menjadi bintang atau model suatu produk dengan memamerkan aurat. Contohnya bintang “film panas”. Mereka rela memamerkan anggota tubuh demi kaum pria asalkan mendapatkan pundi-pundi uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tanpa sadar, diri mereka sudah menjadi bagian dari ekploitasi. Tanpa mereka sadari pula, nilai  seorang wanita menurun dimata orang-orang sekitar.( Suara Merdeka, 28 Juli 2010)

Dalam buku “The Feminine Mustique” karya Feminis Betty Fredan (1963), menjelaskan bahwa begitu banyaknya perempuan-perempuan yang berpendidikan tinggi tidak punya masalah keuangan, namun merasa tidak bahagia dalam kehidupannya. Pasalnya, Mereka  tidak mampu merumuskan persoalannya secara gamblang dan terbuka dan lebih dominan  menyalahkan  iklan, atas ketidak berpihaknya  terhadap kebahagiaan sejati bagi kaum perempuan. Sesuai dengan posisi perempuan yang telah termanipualasi oleh industri periklanan yang terus menerus menjadi “label produk panas” disetiap tayangan media.

Emansipasi Komoditas
Ketika kaum perempuan ingin memunculkan eksistensi diri dan diakui oleh masyarakat  melalui media. Dengan memebawa harkat, martabat, dan derajat ketingkat atas laki-laki. Justru, kemunculan tersebut dijadikan sebagai komoditas oleh berbagai industri periklanan  yang mengerucut pada eksploitasi diri.

Menilik sejarah seorang  founding father kaum perempuan, yaitu RA. Kartini. Beliau merupakan figur mandiri yang memperjuangkan kaum perempuan. Dengan menanamkan pendiddikan umum maupun pendidikan moral. Sehingga kaum perempuan mampu menguasai pengetahuan seluas kaum pria. Walaupun banyak kaum perempuan yang memilki peluang besar terjun dalam dunia karir khusunya industri periklanan. Dan dianggap mandiri dengan menghidupui kebutuhannya sendiri. Akan tetapi, wanita tetaplah wanita yang harus mengakui kodrat mereka, yang setelah menikah akan menjabat sebagai seorang istri atau ibu. Walaupun ingin membuktikan eksisitensi diri melalui bentuk aktualisasi diri dihadapan publik, wanita harus menjaga kehormatan diri serta benar-benar menunjukkan emansipasi yang telah digenggam secara benar.

Jadilah wanita yang mandiri  dengan mengangungkan “emansipasi komoditas”. Dalam arti wanita yang seringkali dianggap rentan mengalami pelecehan seksual, penganiayaan, pemerkosaan, dan kekerasan. Mampu memberikan komiditas dengan kualitas intektual yang memiliki nilai. Misalnya, para emansipator yang memvisualikan intelektualnya melalui tulisan, dan karya lainnya. Sehingga memilki komoditas yang layak jual.  Dari sini seorang wanita harus meningkatkan  kecerdasan sosial-ekonomi dalam masyarakat. Serta  mengetahui dan memahami beberapa konsep dari media Literacy (how creted this message, what techniqueare used to attarct the attention, what  lifestyles, values, and point from message?). Dan memberikan stigma baik tentang diri wanita sehingga tidak lagi dijadikan objek eksploitasi dan tidak dijadikan “Permainan Bebas Tubuh” oleh media industri periklanan. Wallahu a’lam bis showab.


*)Oleh: Mufidatun Ni’mah
Aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam Bidang Pemberdayaan Perempuan
0 Komentar untuk "Perempuan dalam Komoditas Sosial"

Back To Top