Pesta
demokrasi yang telah diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 9 Juli
2014 menjadi hal menarik untuk dibahas. Pasalnya, kedua
kubu calon Presiden (capres) dan Wakil
Presiden (cawapres) sama-sama bersaing ketat. Tidak hanya itu, berbagai cara untuk saling menjatuhkan
kubu lawan pun tidak dapat dihindarkan. Situasi
politik pun semakin memanas. Hal itu
terlihat ketika berbagai lembaga survei mengumumkan hasil quick count (QC) dengan hasil berbeda. Ada yang memenangkan kubu
Prabowo-Hatta, ada pula yang memenangkan Jokowi-JK.
Terlepas dari semua itu, yang terpenting adalah esensi
dilaksanakannya hajatan demokrasi lima tahunan yang bertujuan untuk
menyejahterakan rakyat. Sebab, rakyat Indonesia memiliki harapan besar agar
kehidupan mereka ke
depan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Pemilihan
capres-cawapres kali ini tampak sangat berbeda dengan pemilihan presiden
sebelumnya, yang kedua kubu calon Presiden dan Wakil Presiden sama-sama
bersaing sangat ketat, dan dengan segala macam cara dibuat untuk saling mencari
simpatik masyarakat serta berbagai cara untuk saling menjatuhkan kubu lawan.
Situasi politik semakin memanas dengan hadirnya hanya terdapat dua calon
presiden dan wakil presiden.
Kampanye
yang dilakukan oleh masing-masing kubu misalnya, bukan karena elektabilitas dan
popularitas para kandidat yang bersaing ketat, kampanye semakin sengit pun karena
bermunculannya timses-timses dari masing-masing calon. Tidak hanya melalui kampanye
terbuka, pertempuran saling menjatuhkan pun terjadi di media. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya usaha saling serang antara kedua kubu yang bersaing, untuk menduduki kursi tertinggi di
Indonesia ini via media. Terdapat nuansa konflik yang sangat jelas, terbukti
dengan adanya serangan-seranggan argumen yang senantiasa diluncurkan dari
masing-masing timses.
Kampanye hitam (Black Campaign) merupakan salah satu usaha mereka untuk saling
menjatuhkan satu sama lain, untuk mendapatkan popularitas dan elektabilitas di
mata masyarakat. Adanya usaha saling serang antara masing – masing pasangan
oleh para timses, menjadikan suatu hal yang tidak asing lagi di telinga
masyarakat. Hingga tidak sedikit dari masyarakat yang memiliki fanatisme tinggi
kepada pasangan pilihan mereka, yang mengakibatkan terputusnya pertemanan dan
persahabatan hanya karena perbedaan selera memilih pasangan capres dan
cawapres.
Ironisnya, pasca pemilu pun black campaign pun masih tetap
bermunculan dari masing–masing timses. Seperti halnya peneroran dari masing-masing
timses baik via SMS ataupun secara langsung dengan ancaman pembunuhan. Situasi
politik pasca keluarnya hasil quick count juga semakin memanas. Pasalnya,
masing-masing capres mengklaim sebagai pemenang pada pilpres 2014 ini. Dan
bahkan mereka tidak siap menerima kekalahan dengan alasan-alasan tertentu.
Tentunya hal ini sudah keluar jauh dari etika berpolitik. Upaya mengarahkan
pada kehidupan yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun
institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990) rupanya sudah sangat dilupakan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Mereka
sangat mementingkan kepentingan dan keinginan individual untuk mencapai
kepuasan yang merugikan satu sama sama lain, artinya tidak ada manfaat
sedikitpun. Suatu masalah yang harus direnungkan dalam sebuah kesimpulan
sederhana yang terjadi di Indonesia ini adalah krisis kepercayaan yang kemudian
menciptakan hilangnya harapan masa depan. Menyebabkan tidak kunjung selesainya
menemukan solusi dari problem besar negara ini, kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Pasalnya, dengan adanya pilpres ini akan membawa suasana harum bagi bangsa
Indonesia sendiri. Berjalannya proses demokrasi yang baik akan melahirkan pula
sosok pemimpin yang baik pula. Suatu nilai yang baik jika diterapkan oleh
seorang yang mempunyai integritas, akan melahirkan dua modal sebagai fondasi
yang amat berharga bagi negara, yaitu kepercayaan dan harapan.
Pemimpin
Harapan
Setelah
lebih dari satu dekade reformasi bangsa Indonesia bergulir, permasalahan bangsa
bukan berarti telah tuntas. Kita tidak bisa memungkiri dengan adanya perubahan
yang signifikan dalam berbagai sisi di negeri ini, misalnya semakin meningkatnya
alokasi anggaran pemerintah di sektor pendidikan, dan dibukanya kran kebebasan
dan keterbukaan publik yang seluas-luasnya, sehingga setiap orang memiliki hak
dan akses terhadap informasi. Namun, seiring dengan pencapaian positif di atas,
kasus korupsi juga semakin meningkat. Kriteria korupsi menjadi topik dominan di
banyak media massa saat ini, bahkan “tiada hari tanpa berita korupsi” menjadi
potret kehidupan bangsa Indonesia.
Inilah
sebagian tugas besar bagi calon presiden terpilih saat ini yang diharapkan oleh
rakyat akan menyelesaikan semua permasalahan yang sudah menjadi wabah di negeri
ini. Tidak lagi janji-janji manis yang didengar oleh bangsa Indonesia
pra-presiden, melainkan sebuah bukti kongkrit yang akan mengabulkan berbagai
macam aspirasi rakyat terkait bebasnya kasus korupsi di negeri ini.
Oleh
karena itu, sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, sudah seharusnya para
kandidat menerima dan berjiwa besar terhadap apapun hasilnya. Melalui pemilihan
presiden dan wakil presiden ini diharapkan akan lahir pemimpin-pemimpin baru
yang lahir dari sebuah proses demokrasi yang jujur, adil, dan bermartabat melalui
ajang pemilihan presiden 9 Juli lalu. Tentunya dapat diketahui bahwa dalam
persaingan ada yang menang dan ada pula yang kalah. Maka sudah sepatutnya kita
bisa menerima kenyataan yang terjadi.
Intinya kita ucapkan selamat kepada para pemenang serta tetap menghormati
pihak yang kalah itulah inti dari sebuah demokrasi di negeri tercinta ini. Wallahu ‘alam
bil as-shawab.
*) Oleh : Rudi Sharudin Ahmad
Ketua Komunitas Santri Canggih (KSC) Semarang; Mahasiswa Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo Semarang
Tag :
Politik
0 Komentar untuk "Amanat Suara Rakyat"