Budi dan Spirit ‘Bushido’

Budi dan Spirit ‘Bushido’
Oleh: Mokhammad Abdul Aziz*
Komisaris Jendral Budi Gunawan (BG) menolak mundur dan memilih menunggu putusan sidang praperadilan yang dia ajukan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, Istana telah beberapa kali meminta BG dari pencalonannya sebagai Kepala Polri setelah dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Pengunduran diri Budi Gunawan adalah opsi ideal yang sebenarnya diinginkan oleh Istana. itulah yang dikatakan oleh Meneri Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto (Tempo, 04/02/2015).

Istana sudah menyiapkan enam opsi yang ditawarkan pada presiden menyangkut solusi atas pencalonan Kapolri; pertama, mundurnya Budi Gunawan; kedua, melantik definitif; ketiga, melantik lalu nonaktif; keempat, penundaan sampai ada status hukum yang tetap; kelima membatalkan lalu mencalonkan nama baru; dan terakhir adalah memilih kondisi status quo sambil menunggu adanya kalkulasi yang baru. Kondisi ini tentu saja memperpanjang ‘kegaduhan’ politik yang tengah terjadi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai orang yang paling berkuasa di negeri ini tidak mampu berbuat banyak. Sikap Jokowi yang normatif dan terlihat sangat dilematis menjadikan seolah-olah presiden tidak punya kuasa atas penyelesaian kasus ini. Namun, selain sikap Jokowi yang tidak “tegas”, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Budi Gunawan begitu ngotot agar dilantik menjadi Kapolri definitif, sedangkan dirinya tengah menyandang status tersangka. Apakah Budi sangat yakin bahwa dirinya benar-benar bersih dari sangkaan KPK, atau ada faktor lain yang mendasarinya? Wallahu a’lam.

Sikap semacam ini berbeda dengan beberapa pejabat publik pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebut saja, Andi Mallarangeng mengundurkan diri dari jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan korupsi kasus hambalang, juga Suryadharma Ali yang mundur setelah menjadi tersangka, dan lain sebagainya. Orang jadi bertanya-tanya, dimana fatsoen (baca: etika) politik pejabat publik saat ini, sehingga tidak merasa “malu” dengan status tersangka.

Hal ini tentu saja menjadi renungan bagi bangsa Indonesia ke depan, bagaimana jika pejabat publik tidak mempunyai rasa malu lagi, padahal dirinya telah melakukan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku. Penulis tidak hendak mengadili lebih dulu status tersangka Budi Gunawan, juga tidak ingin mengasosiasikan BG sebagai pihak yang bersalah. Berbeda dari itu, setidaknya inilah kegelisahan rakyat kecil yang mendambakan pejabat yang notabene sebagai pengembat amanat rakyat, bisa menghisab diri, tentu saja untuk kemaslahatan bangsa dan negara.

Antara Hukum dan Etika
Alasan yang digunakan oleh Budi Gunawan (juga pengacara dan pendukungnya adalah) bahwa saat ini ia belum diputuskan bersalah oleh pengadilan, sehingga asa praduga tak bersalah harus tetap dihormati. Secara hukum, hal ini sah dan tidak disalahkan. Namun, bagaimana etikanya? Dalam penyelenggaraan negara, hukum dan etika menjadi pegangan yang utuh dalam kehidupan berbangsa. Bahkan, bisa dipastikan sebagian besar lingkungan penyelenggaraan negara dikendalikan oleh hukum dan etika, termasuk regulasi dan lembaga etikanya.

Soal etika, sebenarnya telah diatur oleh Tap No VI/MPR/2001 bahwa pejabat yang mendapat sorotan negatif dari publik harus bersedia mundur dan tidak menjabat lagi tanpa harus menunggu putusan pengadilan. Intinya, ketetapan tersebut mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik. Termasuk siap mundur bila dirasa tak mampu memenuhi amanah rakyat.

Berkenaan dengan hal ini, penulis teringat pola kepemimpinan di Jepang yang secara umum belandaskan pada etika dan spirit Bushido. Yang terakhir inilah yang menarik untuk dijadikan pelajaran berbangsa. Bushido terdiri dari dua kata, yaitu bushi yang artinya kesatria atau prajurit dan do yang berarti jalan. Bushido atau “jalan kesatria atau prajurit” merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral keksatriaan yang berlaku di kalangan samurai, yaitu pada zaman feodal Jepang. Makna bushido secara umum bisa di artikan sebagai sikap rela mati untuk negara atau kerajaan.

Yamamoto Tsunetomo mengungkapkan bahwa para samurai menjadi orang-orang yang mencintai tugas dan kewajibannya melebihi kecintaaan pada diri mereka sendiri, meskipun nyawa taruhannya. Jika mereka gagal menunaikan tugas, maka mereka rela melakukan bunuh diri—dikenal dengan seppuku (pengeluaran isi perut) atau harakiri (penyobekan perut). Nah, inilah yang kemudian membudaya di Jepang, meskipun sekarang bermetamorfosis menjadi tradisi mengundurkan diri ketika dianggap tidak mampu menjalankan tugas atau melanggar aturan. Alhasil, Jepang menjadi negara yang sangat maju. Kapan Indonesia bisa meniru dan melaksanakan spirit bushido ini? Wallahu a’lam.

*) Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang. Tayang di Koran Tempo, 6-2-2015
Tag : Politik
0 Komentar untuk "Budi dan Spirit ‘Bushido’"

Back To Top