Negara Tanpa Pemimpin

Merebaknya konflik di tingkat elite Negara akhir-akhir ini menambah deretan masalah besar bangsa. Sebuah keprihatinan, carut-marutnya tata kelola kenegaraan dan dualisme kekuasaan pemimpin semakin mendeskripsikan Negara seperti tanpa pemimpin. karena fokus pemimpin terpecahkan oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok.

Kehampaan bangsa akan tegasnya hukum dan sosok pemimpin mengkibatkan timbulnya kekecewaan rakyat yang termanifestasi dalam bentuk prilaku tidak taat aturan hukum. Misal, lambatnya penanganan konflik oleh pihak yang berwenang, menyulut keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya dengan main hakim sendiri. Tak ayal, media massa saat ini didominasi oleh berita kerusuhan antar kelompok, kriminalitas, tindak asusila yang semakin meningkat, —dan banyak kasus-kasus lainnya yang tak lain pelakunya adalah para tauladan rakyat (TNI vs POLRI), yang seharusnya memberi contoh baik bagi masyarakat— dan semuanya tak lepas dari peran hukum yang terlalu toleran terhadap pelakunya, sehingga tidak membari efek jera.

Memang bukan sebuah kesalahan atau hal yang aneh, jika terdapat pertanyaan dimanakah negara ini? Artinya, negara ini yang terkenal sebagai negara hukum berasaskan pancasila, namun ciri khas tersebut seolah tak nampak atau luntur untuk saat ini. akan tetapi yang perlu digaris bawahi adalah permasalahan yang dialami bangsa ini terletak pada pemimpinnya, dalam konteks ini adalah para aparatur negara yang semakin apatis, dan masih dikuasai oleh nafsu kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sehingga melenceng dari konsensus atau tujuan awal bangsa ini. hal tersebut tergambarkan dengan masih banyaknya tokoh-tokoh elite negara yang terlibat kasus-kasus korupsi.

Demikianlah kenyataan para pemimpin yang cenderung mempermainkan amanat dan kepercayaan rakyat. Sejatinya berkuasa menjadi bagian dari pengabdian kepada rakyat. Namun makna tersebut disalah artikan dengan menganggap tanggung jawab kekuasaan sebatas profesi bukan mengabdi dan diperparah dengan tidak adanya spiritualisme sebagai filter, sehingga dengan mudah terkuasai oleh nafsu duniawi yang menjadikan uang sebagai tuhannya. Tidak dapat dipungkiri, buruknya kinerja para elite negara jelas—cepat atau lambat—akan mengarahkan negara ini kepada keterbelakangan dan kemunduran.

Diduakan pemimpin
Dalam konteks ini, kepemimpinan nasional yang seharusnya menjadi tauladan bangsa sudah alih fungsi. Beragam permasalahan yang timbul—terlepas dari penyebab utamanya—tidak dapat dielakkan, bahwa faktor kepemimpinan nasional turut memberi kontribusi terhadap maraknya konflik yang terjadi baik internal maupun eksternal bangsa.

Terlebih, masalah tak hanya mendera kalangan elite. Sehingga menurut buya Ahmad Syafi’i Maarif seorang cendikiawan muslim, “kita memiliki pemerintah, namun tidak dapat memerintah. Kita memiliki pemimpin, namun tidak lagi memiliki kemampuan memimpin”. Akibatnya berbagai permasalahan timbul bertubi-tubi, termasuk korupsi tak terkendali.

Sebagai kepala Negara dan pemerintahan, Pemimpin memiliki peranan yang sangat menentukan. Dengan kewenangan seharusnya mampu meyelesaikan atau setidaknya meminimalisir terjadinya konflik. Bukan Civil society, tokoh-tokoh masyarakat dan  agama yang berperan mengelola konflik dalam masyarakat, mengingat perannya sebatas penghimbau dalam masyarakat.

Namun peran pemimpin yang perlu dipertanyakan. Saat ini pemimpin justru disibukkan oleh masalah internal partainya yang semakin ribet. Tentunya rakyat semakin tidak mengerti kemana arah perjalanan bangsa ini. Belum kelar masalah satu, timbul permasalahan baru yang semakin carut marut dan membesar. Ditambah lagi dengan tidak adanya kejelasan dari pemimpin akan penyelesaian masalah-masalah tersebut.

Wakil Presiden Jusuf Kalla  dalam hal ini berpandangan bahwa yang menjadi akar persoalan bangsa ini adalah kepemimpinan. Berhasil tidaknya Negara, dengan system atau ideology apapun, nasib Negara tetap bergantung pada fakor kepemimpinan. (harian sindo, 30/10/2012). Karena pemimpin nasional bertugas memengaruhi bangsa supaya mau bersama-sama membangun Negara, bukan berkutik dalam konflik.

Realitanya, kepentingan pribadi dan lembaga menjadi prioritas. Bukan saling melengkapi dan saling dukung, elit politik dan elite negara justru berselisih dan saling menjatuhkan. Lantas, kapan maslah ini berakhir? Rakyat serasa “diduakan” sehingga patut dipertanyakan dimanakah pemimpin kita?
Karena lebih dari setengah abad Negara ini merdeka, namun tidak ditegakkannya keadilan masih mendominasi faktor penyebab konflik. Pemimpin pun menjadi hal yang fundamental dalam bernegara. Persoalan-persoalan bangsa sejatinya dapat terselesaikan, tinggal bagaimana pemimpin berani mendatangi dan mengkoordinir masalah serta menyelesaikannya secara arif dan bijaksana. Lain halnya jika pemimpin tidak menghendaki masalah itu usai.

Kepercayaan Publik
Konflik yang terjadi antar lembaga Negara, penegak hukum, internal partai, dan sebagainya juga akan berefek buruk pada kepercayaan publik terhadap pemerintah berupa pembangkangan sosial. Masyarakat tidak lagi percaya hukum, karena penegaknya menjadikan hukum sebagai permainan. Keadaan masyarakat yang demikian tidak dapat dilepaskan dari buruknya kinerja aparatur Negara. Tentu sangat merugikan, pasalnya bangsa ini tersendat untuk bisa mengambil momentum bangkit dan berkembang.

Yang dapat kita lakukan adalah sadar akan polemik yang terjadi dan meningkatkan kinerja (berjuang) secara cerdas, keras dan ikhlas mengabdi untuk mewujudkan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera. Dengan begitu, kepercayaan publik akan kembali, karena tanpa adanya kepercayaan dan amanah publik pemerintah tidak ada maknanya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

*) Presiden Monash Institute dan Peneliti di Lembaga Studi Agama Dan Nasionalisme IAIN Walisongo Semarang.
Tag : Politik
0 Komentar untuk "Negara Tanpa Pemimpin"

Back To Top