Staples

staples
Oleh: Ali Mahmudi
Namaku Staples, ya...hanya Staples, tanpa embel-embel maupun julukan apapun. 

Aku tak tau alasan orang tuaku memberikan nama seperti itu, karena bagiku kata itu sangat lucu dan aneh jika dipakai untuk sebuah nama. Tetapi, jika melihat pendidikan orang tuaku yang hanya tamat lulusan SD dan bekerja sebagai pemulung, aku hanya bisa memakluminya. Terkadang muncul sebersit rasa bangga dalam hatiku ketika memikirkan nama itu, karena tidak akan pernah ada yang menyamai nama seperti itu di dunia ini.  Aku tak tau dimana aku dilahirkan, tetapi aku tau dimana aku ditemukan oleh orang tuaku sekarang. Di samping tempat sampah dengan tubuh masih berlumuran darah, tanpa suara tangis yang biasa menghiasi kelahiran seorang bayi sebagaimana biasanya, itulah cerita dari orang tuaku.

Aku hidup dan besar bersama orangtuaku dan adikku yang masih kecil di sebuah kota besar di negeri ini, Jakarta. Hidup dengan kerja keras sebagai seorang pemulung, aku mencoba menaklukkan kerasnya kehidupan kota metropolitan. Bersama puluhan dan bahkan ratusan pemulung lain, setiap hari aku berlomba mengais-ngais sampah dimanapun tempatnya.

Rumahku berada di kolong jembatan. Sebenarnya tidak pantas disebut rumah jika melihat bentuknya. Bangunan itu terbuat dari papan bekas yang ditemukan oleh orang tuaku, berukuran 3x3 meter dan hanya beralaskan tikar dan kardus bekas. Sebulan sekali, kami harus berhadapan dengan Satpol PP yang membokar rumah kami dengan alasan dari pemerintah bahwa rumah kami merusak pemandangan kota. Sungguh alasan yang tak berperikemanusiaan menurutku. Jika musim penghujan, kami juga harus bersiap-siap pindah manakala banjir mengancam. Di kolong jembatan ini ada dua rumah lain yang menjadi tetangga kami. Mereka adalah keluarga temanku Parjo dan yang satu tetangga baru kami, Hadi namanya. Hadi berasal dari sebuah kota yang terkenal kerajinan batiknya, yaitu Pekalongan. Hubungan tetangga antar kami berjalan dengan harmonis, tidak ada kedengkian dan rasa iri yang muncul antara kami.

¤  ¤  ¤

Namaku Staples, ya...hanya Staples dan tanpa embel-embel maupun julukan apapun..... 

Aku punya adik, namanya Anik, nama yang lebih bagus daripada namaku tentunya. Berperawakan kecil, kurus dan mempunyai wajah sedikit manis, itulah adikku. Demi adikku pula selama ini aku membantu ayahku mencari barang-barang berharga dari tumpukan sampah setiap harinya untuk menyekolahkan dia, agar jika besar nanti dia tidak menjadi pemulung seperti ayah maupun kakaknya. Dan seminggu lagi, adikku yang berusia 7 tahun berulang tahun. Ingin rasanya diri ini memberikan kebahagian untuk dirinya, walaupun kebahagiaan itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan yang didapatkan oleh anak-anak lain seumurannya.

Siang itu, sepulang dari sekolah, kutemukan adikku bermain dengan bonekanya yang sudah lusuh dan kumal, bahkan sudah robek di sana-sini.

“Tenang aja, dek, bonekamu akan kuganti dengan boneka yang baru,” ujarku dalam hati.

“Kamu udah makan, dek?” tanyaku kepadanya.

“Sudah, Kak. Tadi makan siang bareng sama ibu,” jawabnya.

“Lha terus, ibu kemana dek?”, tanyaku lagi kepadanya.

“Gak tau kak, mungkin sedang ngerumpi ma bu Siti,” ujarnya lugu.

“Waduuuuuh...kebiasaan ibu-ibu, bisanya ngerumpi terus tiap hari, sepertinya tidak akan pernah habis kalau ibu-ibu sedang ngerumpi. Pasti ada aja yang dijadiin bahan rumpian,” ujarku dalam hati

“Ya udah, dek. Kakak mau pergi dulu bantuin bapak, daaaaahhhh,” lanjutku.

“Iyaa kak, Titi DJ ya!!” ucapnya.

“Titi DJ? Apaan itu dek?” tanyaku kepadanya.

“Yeeeee.....kakak gak gaul, Titi Dj itu artinya ati-ati di jalan kak!” jawabnya.

“Oaalah....bisa aja kamu”, ucapku sambil mencubit pipnya dengan rasa gemas. “Ya udah, kakak pergi dulu ya! Assalamu’alaikum!” ujarku.

“Wa’alaikumussalam kak!” jawabnya.

Aku tersenyum dalam perjalanan jika memikirkan adikku satu ini. begitu lugu dan lucu dirinya. Keluar dari rumah aku berpapasan dengan Parjo. “Kamu mau kemana Ples?” tanyanya.

“Aku mau bantu ayahku di TPA, Jo, mau ikut?” tanyaku balik.

“Gak ah, males. Eh, Jo.... kamu udah tau belum kalau harga BBM mau dinaikkan?” tanyanya.

“Apa? Dengan harga segini aja udah mencekik leherku, bagaimana kalau dinaikkan? Bisa mati perlahan-perlahan ntar,” ujarku.

“Denger-denger, BBM dinaikkan gara-gara harga minyak mentah dunia itu naik,” tanggap Parjo.

“Waaahhh....akal-akalan pemerintah aja itu, emangnya Indonesia gak punya sumur minyak sendiri apa? Semakin hari pemerintahnya semakin gak bener aja,” ujarku kesal.

“Tapi denger-denger juga banyak yang demo masalah BBM ini, soalnya banyak yang gak setuju juga dengan kebijakan ini,” tandas Parjo.

“Halaaaah....udahlah, pusing aku mikirin mereka-mereka yang ada di atas sana. Aku pergi dulu jo, jangan lupa traktiran untuk yang kemarin ya! Hehehe,” ujarku.

“Yeeee....kalo masalah traktiran aja semangat dirimu. Ya udah gih, sana pergi jauh dari mukaku!” ucap Parjo dengan nada sedikit ketawa.

“HA..HA..HA..HA.. kalo masalah yang satu itu mah aku gak bakalan lupa. Daaaahhh!” ucapku pada Parjo.

Kulangkahkan kaki menuju TPA Bantar Gebang untuk membantu ayahku yang sedang berada di sana memilah-milah sampah. Sambil berjalan, fikiranku melayang tentang topik perbincangan dengan Parjo.

“BBM mau dinaikkan? Apakah pemerintah sudah tidak lagi memperhatikan nasib rakyatnya yang serba kekurangan? Untuk makan setiap harinya saja udah kesulitan, apalagi jika harga BBM sampai dinaikkan, pasti harga barang-barang yang lain juga akan ikut naik. Ya Allah, kenapa harus sampai seperti ini? kami miskin di negeri yang terkenal dengan slogan “Gemah Ripah, Loh Jinawi” ini, sampai kapankah semua ini terjadi?” ujarku dalam hati, dalam keadan sedih dan gundah gulana.
Saat itu juga aku teringat untuk membelikan boneka untuk adikku. Uang darimana lagi yang bisa aku dapatkan untuk membeli boneka, padahal hari ulang tahunnya tinggal sebentar lagi. Saat itu juga hatiku semakin sedih memikirkan nasib keluargaku yang tidak pernah membaik.
“Ya Allah! Tolonglah hambamu ini!” ujarku dalam hati.

¤  ¤  ¤

Namaku Staples, ya...hanya Staples dan tanpa embel-embel maupun julukan apapun.....

Ketika baru melangkahkan kaki beberapa meter dari rumah, kudengar sebuah teriakan dari suara yang tidak asing di telingaku, ya! Itu suara Parjo memanggil.

“Ada apa Jo?” tanyaku padanya.

“Ada rejeki, Ples. Kamu mau apa gak?” jawabnya dengan nada gembira.

“Rezeki? Darimana jo?” tanyaku lagi dengan rasa penasaran.

“Ini ada rezeki kalo kamu mau ikut demo BBM di Istana negara. 50 ribu lho! Mau gak?” jawabnya dengan penuh semangat.

“Hah...Demo? Masalah BBM? Siapa yang nyuruh?” tanyaku lagi kepadanya.

“Ya, masalah BBM. Yang nyuruh dari PDRP. Mau gak?” tanyanya lagi.

“Ternyata dari PDRP (Partai Demokrasi Rakyat Perjuangan). Maklumlah partai oposisi, pasti sedang menarik simpati dari rakyatnya. Padahal ketika pemimpin partai tersebut menjadi presiden di negeri ini, kenaikan BBM tidak bisa dihindarkan. Dan pada saat itu juga partai tersebut tidak pernah menolak kebijakan kenaikan BBM tersebut. Sungguh perpolitikan yang penuh dengan tipu daya,” ujarku dalam hati.

Saat itu juga aku teringat kado ulang tahun untuk adikku yang pernah kujanjikan walaupun dalam hati. Aku masih bimbang menentukan pilihan untuk mengikuti ajakan Parjo atau gak. Disamping itu juga aku tidak pernah mengikuti demonstrasi, aku takut jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti tahun 98-an. Tetapi demi membahagiakan adikku, akhirnya kuputuskan untuk mengikuti ajakan Parjo tersebut.

“Ok Jo, aku mau, kapan kita berangkat?” tanyaku pada Parjo.

“Nanti siang, Ples. Siap-siap aja pokoknya! Nanti kalo mau berangkat aku samperin deh!” jawab Parjo.

“Ok, siap bos!” ucapku senang. “Mungkin ini akan menjadi pengalaman pertamaku demonstrasi,” ujarku dalam hati.

¤  ¤  ¤

Namaku Staples, ya...hanya Staples dan tanpa embel-embel maupun julukan apapun.....

Hari ini aku baru merasakan pertama kali aksi yang bernama demonstrasi ini. Berjejalan dengan puluhan orang lain dan membawa tulisan-tulisan untuk menyerukan aspirasi kami. Kami disuruh untuk mengikuti apapun yang dikatakan oleh orator yang berada di depan. Sedangkan sang orator yang berada di depan dengan semangatnya meluapkan kritik-kritik pedasnya kepada pemerintah. Di belakangnya tampak pagar berduri yang memanjang. DALMAS, itu sebutan orang-orang untuk polisi yang sedang berjaga-jaga dan memakai baju anti peluru lengkap dan tameng. Keberadaan mereka tidak jauh dari pagar duri diletakkan. Aku hanya bisa termangu saja melihat situasi yang sedang terjadi.

Selang beberapa menit, sang orator berkata dengan lantang sambil memegang megaphone di tangan kirinya, “Kita di sini sudah sangat lama menunggu perwakilan dari pimpinan, tapi tidak ada satupun dari mereka yang mau keluar menemui kita. Ayo kita masuk kawan-kawan!!”.

“MASUK...MASUK...MASUK...MASUK!” teriak para demonstran dengan semangat.

Seketika itu juga, para demonstran maju beberapa langkah dan menghancurkan pagar kawat berduri, sehingga kami langsung berhadap-hadapan dengan para DALMAS. Akhirnya, kami melakukan aksi dorong untuk masuk. Aku merasa sesak terdorong oleh puluhan demonstran dari belakang. Tiba-tiba melesat dari arah belakang sebuah botol air mineral dan mengenai salah seorang polisi. Para polisi langsung menyibak para pendemo dan berusaha menangkap orang yang telah melemparkan botol tersebut. Dari tempatku berdiri aku hanya terpaku tanpa bisa berbua apa-apa sementara para polisi mengejar pelempar tersebut.

Tiba-tiba aku melihat sesosok orang yang kukenal yang sedang dikejar oleh puluhan polisi. Parjo...ya...itu benar Parjo. Seketika itu juga aku melesat mengikuti pengejaran para polisi itu. Parjo terlihat gesit menghindar dari kejaran para polisi. Tapi akhirnya, dia tertangkap dan langsung menjadi bulan-bulanan para polisi yang brutal. Entah apa yang aku fikirkan, aku langsung menyeruak dan menyibak kerumunan polisi itu untuk menyelamatkan Parjo. Akibat perbuatanku itu, aku ikut menjadi sasaran empuk para polisi. Tendangan demi tendangan menghujam keseluruh tubuh. Aku terkapar tak berdaya di atas aspal yang sangat panas ini.

Sempat kulihat darah menetes dari kening Parjo dan dia tak sadarkan diri. Tetapi apa daya diriku, aku ta bisa menolongnya. Karena masih aku rasakan pukulan dan tendangan yang, mengalir deras ke tubuhku. Tiba-tiba, DUAAAKKK! Sebuah pentungan mendarat telak di kepalaku. Seketika kurasakan sesuatu mengalir dari kepala. Dunia terlihat gelap, dan aku merasakan diriku semakin jauh dari keramaian.

Tiba-tiba kulihat senyum adikku dengan membawa boneka barunya. Kulihat wajah-wajah orang yang aku sayangi. Aku mencoba menggapai mereka, tapi mereka semakin bergerak menjauhiku. Dan akhirnya semuanya menjadi gelap tanpa ada sedikitpun cahaya.

¤  ¤  ¤


Namaku Staples, ya...hanya Staples dan tanpa embel-embel maupun julukan apapun.....

Semoga aku bisa membelikan boneka untuk adik kecilku.
Tag : Cerpen
0 Komentar untuk "Staples"

Back To Top