![]() |
Pendahuluan
Kata Allah dalam al-Qur’an tersebar di
lebih dari dua ribu ayat. Penyebutan kata tersebut terdapat dalam
berbagai konteks, di antaranya dalam deskripsi tentang masyarakat Arab
pra-Islam, masyarakat yang percaya kepada kenabian Muhammad, dan
masyarakat yang menentang kenabiannya. Karena itu, untuk mengetahui
konsepsi yang komprehensif tentang Allah,
tidak cukup hanya mengetahui
konsep tentang kata tersebut dalam beberapa ayat saja, apalagi secara
sepotong-sepotong. Untuk mendapatkan konsepsi tentang Allah secara
total, tidak parsial, perlu pembacaan al-Qur’an secara keseluruhan.
Namun, sebagian umat Islam masih keliru
dalam memahami konsep tentang Allah ini. Kekeliruan tersebut nampak
dalam beberapa hal: pertama, menganggap bahwa Allah adalah nama yang
eksklusif hanya bagi umat Islam saja, sehingga gagal dalam memahami
siapa Allah yang sesungguhnya; dan kedua, menganggap bahwa Allah adalah
sebuah nama yang diberikan oleh Allah sendiri. Kekeliruan pemahaman
tersebut, dalam praktik kehidupan sehari-hari, terjadi terutama dalam
interaksi dengan penganut agama lain, sehingga seringkali menyebabkan
konflik-konflik kelompok antar-agama.[1]
Untuk itu, makalah ini mengangkat permasalahan ini secara terperinci sebagai berikut:
- Apakah Allah yang diperkenalkan oleh al-Qur’an merupakan kelanjutan dari konsep pra Islam, atau mempresentasikan hakikat Allah yang sama sekali terputus dengan konsep masyarakat pra-Islam?
- Apa konsep yang ditawarkan oleh al-Qur’an tentang Allah?
- Apakah kata Allah dalam al-Qur’an merupakan persoalan sebuah kata biasa lainnya yang digunakan untuk dua obyek yang berbeda?
Analisis
Makkah terletak di jalur perdagangan
internasional dan dengan sendirinya menjadi pusat perdagangan yang
penting. Makkah makmur karena letaknya berada di jalur penting dari
Arabia selatan sampai utara dan Mediterania, Teluk Persia, Laut Merah
melalui Jiddah, dan Afrika. Posisi strategis Makkah ini karena ia adalah
juga pusat aktivitas keagamaan.[2]
Untuk memahami kebutuhan spiritual, masyarakat Arab malakukan
penyembahan terhadap tuhan-tuhan yang digambarkan dalam wujud patung
manusia. Menurut Ibnu Hisyam kepercayaan ini karena pengaruh dari
Syiria. Cara berkepercayaan ini kemudian menjadi dominan. Mereka
memiliki banyak tempat suci dan upacara keagamaan. Mereka menyerahkan
kurban kepada tuhan-tuhan yang berwujud patung-patung dari batu-batu
kasar, dan mereka berarak mengnelilingi tempat peribadatan mereka.
Sebanyak tidak kurang dari 360 patung disembah.
Al-Qur’an merekam tentang kepercayaan
bangsa Arab pada berhala-berhala ini sebagai kepercayaan yang sudah
dikenal sejak zaman Nabi Nuh dan merupakan berhala-berhala terbesar.
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً (نوح: 23
Artinya: “Dan mereka berkata: “Jangan
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan
pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr”[3]. (Nuh: 23)
Patung yang paling terkenal adalah Hubal
yang dipercayai dapat mendatangkan hujan ketika dimintai. Patung ini
diletakkan di tengah-tengah sumur di dalam Ka’bah dan dianggap sebagai
tuhan paling penting di Makkah. Seluruh sesaji yang dipersembahkan
untuknnya diletakkan di sumur. Hubal juga dimanfaatkan untuk ramalan.
Tiga patung yang lain yang terkenal di Makkah dan bahkan disebut oleh
al-Qur’an adalah al-Lâta, al-‘Uzzâ, dan Manât. Al-Latta di Tha’if mempunyai kedudukan sebagai dewi Semit garis ibu, kesuburan, dan langit. Sedangkan al-‘Uzzâ
berarti perkasa atau terhormat. Tempat pemujaannya berada di Nakhla,
beberapa mil di sebelah utara Makkah di sepanjang jalan Makkah dan Iraq.
Dan Manat di Pantai Laut Merah antara Makkah dan Madinah yang
disembah oleh suku ‘Aus dan Khazraj, adalah model dewa perempuan yang
menentukan nasib dan keberuntungan.
Di samping itu, pada masa pra-Islam
masing-masing suku Arab memiliki tuhan-tuhan lokal yang hanya populer
dalam lingkup teritorial tertentu saja. Sedangkan dalam lingkup
teritorial yang lain, kurang atau bahkan sama sekali tidak dikenal. Akan
tetapi masyarakat suku-suku tersebut mempunyai gagasan tentang Tuhan
yang melampaui batas kualifikasi lokal suku tertentu dan dikenal oleh
semua suku yang ada. Mereka menyebutnya dengan Allah.
Jadi, kepercayaan kepada Allah
dicampuradukkan dengan kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang lain. Kalau
digambarkan secara konkrit susunannya akan membentuk sebuah piramida
dengan Tuhan yang dikenal oleh seluruh suku yang mereka sebut dengan
Allah menempati posisi puncak piramida dan dewa-dewa lokal berada di
bawah posisi Allah dan hanya sebagai perantara saja untuk menuju kepada
Allah. Konsepsi ini jelas dari pernyataan mereka sendiri yang diabadikan
oleh al-Qur’an:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Artinya: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (al-Zumar: 3)
Dalam konteks ini, kata Allah
sesungguhnya tidak ubahnya kata-kata lainnya yang mengalami pergeseran
makna sesuai dengan pemahaman masyarakat yang menggunakannya. Sebelum
Islam, mayoritas masyarakat Arab pagan menganggap bahwa Allah adalah
tuhan tertinggi yang di bawahnya terdapat tuhan-tuhan lain. Tuhan
tertinggi itu adalah tuhan yang paling berkuasa dan menciptakan langit
dan bumi.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Artinya: “Sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah): ’Siapa yang telah
menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari dan bulan?’,
niscaya mereka akan menjawab: ‘Allah’”. (al-'Ankabut: 61)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Artinya: “Sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah): ’Siapa yang telah
menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab: ‘Allah’”. (al-Zukhruf: 87)
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ
السَّمَاء مَاء فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا
لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا
يَعْقِلُونَ
Artinya: “Dan sesungguhnya jika kamu
menanyakan kepada mereka, Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu
menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Tentu mereka akan
menjawab, Allah. Katakanlah, Segala puji bagi Allah , tetapi kebanyakan
mereka tidak memahami”. (al-‘Ankabût: 63)
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan sesungguhnya jika kamu
tanyakan kepada mereka, Siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu
mereka akan menjawab, Allah. Katakanlah, Segala puji bagi Allah ;
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (Luqman: 25)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا
تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ
كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ
رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Artinya: “Dan sungguh jika kamu
bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”,
niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah
kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak
mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat
menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat
kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah
Allah bagiku”. Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah
diri.” (al-Zumar: 38)
Lima ayat di atas menjelaskan bahwa
masyarakat Arab jahiliyah meyakini keberadaan Allah Swt. dan memiliki
berbagai macam kemampuan maha besar dalam menciptakan langit dan bumi,
memberikan rizki, menurunkan hujan, dan menundukkan matahari dan bulan.
Namun, mereka juga percaya tuhan-tuhan kecil lainnya. Masyarakat Arab
menganut paham politeisme yang menempatkan Allah pada posisi tertinggi
dalam hirarki ketuhanan, yaitu dalam kapasitas sebagai ”Tuhan Ka’bah” di
Makkah. Karena itu, di antara mereka juga melakukan peribadatan di
Ka’bah. Sementara Tuhan-tuhan lain dihormati sebagai penghubung anatara
Tuhan tertinggi ini (Allah) dengan manusia.
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
Artinya: “Tidaklah shalat (ibadah)
mereka (kaum musyrik) di sekitar Baitullah itu, kecuali hanyalah siulan
dan tepukan tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu”. (al-Anfal: 35).
Al-Qur’an datang untuk mendobrak
masyarakat yang mempercayai system politeisme di Arab dan menggantinya
denngan kepercayaan monoteisme dengan mempeerkenalkan Tuhan Yang Esa.
Dengnan tegas lewat Muhmmad, al-Qur’an menawarkan konsepsi Tuhan yang
paling dasar, yakni ketauhidan.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Artinya: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tidak pula diperanakka. Dan tidak ada seorang pun yang
setara dengan Dia”. (al-Ikhlâsh: 1-4).
Fakta ini menunjukkan bahwa nama Allah
sudah lazim digunakan di kalangan masyarakat jahiliyah dan kemudian
tetap digunakan oleh Islam. Al-Qur’an tidak memperkenalkan nama baru
bagi Tuhan karena hal itu justru akan membuat masyarakat yang menjadi
audiens dakwah Nabi Muhammad merasa asing dan aneh. Tetapi, nama ini
menunjuk pada konsepsi yang berbeda. Al-Qur’an menambahkan argumenasi
yang sangat rasional tentang kemustahilan konsep politeisme yang
mempercayai banyak Tuhan dan hannya keesaan Tuhanlah yang dapat masuk
dalam nalar sehat.
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آَلِهَةٌ إِلاَّ اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Artinya: “Seandainya pada keduanya
(langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya akan
rusak. Maha suci Allah, penguasa ‘arsy, dari apa yang mereka sifatkan.” (al-Anbiya’: 22).
Nama Allah
Secara garis besar terdapat tiga teori
mengenai asal mula kata atau bahasa, yaitu teologis, naturalis dan
konvensionalis. Teori teologis mengatakan bahwa manusia bisa berbahasa
karena anugerah Tuhan dan pada mulanya Tuhanlah yang mengajarkannya
kepada Adam, nenek moyang seluruh manusia. Pendapat ini dipengaruhi oleh
cerita dalam Bibel dan al-Qur’an yang di dalamnya dikisahkan Tuhan
mengajarkan nama-nama benda kepada manusia pertama itu.
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا
ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ
هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada
Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda
itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” (al-Baqarah: 30)
Teori naturalis mengatakan bahwa
kemampuan berbahasa manusia adalah bawaan alam sebagaimana kemampuan
untuk melihat dan mendengar. Teori ini diperkenalkan ulang oleh Max
Muller (1883-1900) yang kemudian lebih populer dengan sebutan teori ding dong, yang
berpandangan bahwa pada mulanya bahasa muncul secara alamiah, muncul
secara spontan ketika manusia berinteraksi dengan lingkungannya,
terutama ketika mendengar suara-suara alam.
Teori konvensional mengatakan bahwa
bahasa muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil konvensi yang
disepakati dan kemudian dilestarikan oleh masyarakat. Karena itu, sebuah
kata yang sama lahir untuk mengungkapkan sesuatu yang sama. Karena itu,
kelompok masyarakat yang berbeda mengungkapkannya dengan bahasa yang
berbeda pula. Dan pada kenyataannnya, memang itulah yang terjadi.
Dalam konteks ini, kata Allah tidak masuk
dalam perkecualian. Kata ini tidak lebih dari konvensi masyarakat Arab
untuk menyebut dzat tertinggi yang menciptakan langit dan bumi,
menurunkan hujan, meniupkan angin, dan lain sebagainya. Bukti lain yang
menunjukkan bahwa nama Allah hanyalah konsepsi masyarakat Arab adalah
nabi-nabi lain menyebut dengan nama-nama atau sebutan-sebutan yang
berbeda-beda. Nabi Ibrahim misalnya, menyebut dzat yang serba maha itu
dengan ‘El. Karena itu, salah satu anaknya ia beri nama Isma’el.
Cicitnya, Ya’qub bergelar Isra’el. Anak-anak keturunannya kemudian
disebut sebagai Bani Isra’el.
Mengenai asal usul kata Allah dalam
masyarakat Arab, terdapat berbagai macam pendapat. Pendapat mayoritas
adalah bahwa Allah berasal dari kata ilah, yakni segala sesuatu yang disembah. Bentuk plural kata ilah adalah âlihah yang dalam konteks-konteks al-Qur’an adalah berhala-berhala dan patung-patung, sebagaimana telah disebutkan di atas.
Ibn al-Atsir mengatakan bahwa kata Allah
berasal dari kata Aliha–Ya’lahu. Abu al-Haitsam mengatakan bahwa kata
Allah berasal dari kata ilâh kemudian ditambahkan huruf alif dan lam sebagai alif lam ta’rif, al-ilâh. Karena masyarakat Arab merasa berat mengucapkan hamzah pada kata ini, kemudian huruf hamzah ini dibuang sehingga menjadi alilaah. Kemudian lam ta’rif diberikan harakat fathah yang tadinya berharakat sukun (mati), sehingga kemudian di sini terdapat dua lam yang sama-sama berharakat fathah. Lam yang pertama digabungkan pada lam yang kedua makna menjadi Allah. Al-Khalil mengatakan bahwa kata Allah bukan pecahan dari kata apa pun. Ia adalah isim jamid, sehingga tidak bisa ditashrif.[4]
Terdapat perbedaan antara Allah sebagai isim jamid dan tidak jamid. Konsekuensi dari pendapat yang mengatakan bahwa kata Allah adalah isim jamid adalah:
“Allah bernama Allah adalah karena Allah”, artinya Dia sendiri yang
memberikan nama tersebut untuk diriNya sendiri. Berbeda dengan yang
berpendapat sebaliknya, berarti: “Allah bernama Allah bukan karena
Allah, melainkan karena manusia yang menamakan-Nya dengan kata ‘Allah’”.
Pendapat ini lebih kuat dan sesuai dengan realitas. Karena itu, ayat
dalam al-Baqarah: 30 harus dipahami bahwa memberikan kemampuan kepada
manusia dengan simbol Adam untuk melakukan konseptualisasi atas segala
sesuatu yang dicerap oleh indera manusia. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*) Oleh: Dr. Mohammad Nasih; Guru di Monash Institute
[1]
Konflik paling mutakhir yang disebabkan oleh klaim “kepemilikan” nama
Allah hanya bagi umat Islam saja terjadi di Malaysia. Sekelompok umat
Islam menyerbu sebuah gereja dan melarang umat Kristiani menggunakan
atau menyebut nama Allah, karena mereka sekelompok umat Islam tersebut
merasa nama Allah adalah “milik” umat Islam, bukan “milik” umat
Kristiani.
[2]
Pada suatu saat Raja Abrahah yang memerintah di Yaman ingin memindahkan
fungsi strategis Makkah ini ke Shan’a yang di sana ia telah membangun
sebuah katedral yang kemegahannya belum tertandingi saat itu. Ambisinya
itu terdapat dalam suratnya yang ditujukan kepada Raja Negus. “Aku telah
membangun sebuah gereja untuk Tuan yang belum dibangun oleh raja-raja
sebelum Tuan. Hamba tidak akan berhenti sebelum memindahkan kiblat haji
itu ke sini”.[2] Motif Utama Abrahah ini disanyilir adalah untuk
memindahkan potensi ekonomi, karena dengan pemindahan kiblat seperti
yang tertulis dalam suratnya tersebut akan berimplikasi pada perubahan
pusat kegiatan perdagangan. Namun, usaha Abrahah tersebut gagal karena
tentara gajah yang dipimpinnya binasa oleh serangan burung abâbîl yang melemparkan batu-batu kerikil dari neraka Sijjîl yang oleh Mohammad Abduh ditafsirkan dengan penyakit cacar.
[3]Suwâ’ juga disembah oleh suku Madzij, Ya’ûq disembah oleh orang Khiwan, satu daerah yang jarak tempuhnya dua malam perjalanan dari Shan’a, dan Nasr disembah oleh orang di Yaman dan Himyar.
[4] Lihat Ibn al-Mandhur, Lisan al-Arab,
*)Dr. Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ;
*)Dr. Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ;
Tag :
Ke-Islam-an
0 Komentar untuk "Allah; Siapa dan Nama dari Mana?"