Suap dan korupsi dua perilaku yang
sangat tidak terpuji. Perbuatan yang merusak diri sendiri, dan membuat tatanan
sosial menjadi berantakan. Mengingat dampak negatif yang demikian buruk, maka
sangat logis bila Rasulullah mengutuknya secara terang-terangan, khususnya
ditujukan pada kasus sogok atau suap.
Suap dan korupsi sama-sama dilarang
keras oleh agama karena merusak umat, baik secara psikis individual, maupun
secara sosial kolektif. Pada tataran praktis antara keduanya terdapat perbedaan
yang cukup signifikan. Pada kasus suap tidak mungkin dilakukan sendirian tanpa
ada pihak lain yang terlibat. Sementara pada korupsi lebih leluasa, yakni dapat
dilakukan sendirian dan bisa pula bersama-sama (kolektif).
Amatilah
fenomena yang terjadi di sekitar kita, akan tampak jelas dan kasat mata.
Keadilan tidak tegak, kejahatan merajalela, penjahat berkeliaran dengan leluasa
tanpa merasa khawatir akan ditindak. Semua itu penyebab utamanya ialah suap dan
korupsi yang tidak pernah dibasmi tuntas, malah terkesan dilindungi. Inilah
yang diingatkan Nabi Shallallahu alaihi
wasallam, bahwa kehancuran umat-umat terdahulu salah satu penyebab utamanya
karena ketidak adilan, apabila yang mencuri (koruptor) itu orang besar
terhormat, dibiarkan. Tapi sebaliknya bila yang melakukannya orang kecil yang
hina mereka tegakkan hukum yang setimpal, bahkan terkesan lebih berat. Masih
segar dalam ingatan kita seorang buruh perkebunan di Jawa Timur dijatuhi
hukuman membayar denda puluhan ribu hanya disebabkan mencuri tiga biji buah
kakau.
Melakukan
suap dan korupsi artinya memakan atau mengambil harta orang lain dengan cara
ilegal atau dalam bahasa Agama disebut batil. Larangan memakan harta orang lain
dengan cara-cara yang ilegal sebagaimana ditegaskan dalm Al-Qur’an merupakan
suatu yang sudah baku. Artinya pelarangan tersebut bersifat mutlak, tidak boleh
diinterpretasikan lain. Perbuatan tersebut tidak hanya membahayakan diri si
pelaku sendiri, melainkan juga orang lain, bangsa dan negara. Secara psikologis
mereka yang suka memakan harta orang lain, dapat merusak sistem syarafnya.
Betapa tidak, dalam dirinya hanya energi negatif berkembang, sementara energi
positifnya selalu ditekan ke titik nadir. Dalam konteks ini Nabi Shallallahu alaihi wasallam pernah
menyatakan bahwa setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka nerakalah yang
lebih pantas baginya.
Ada orang yang diberi amanat untuk mengembangkan suatu
metode pengajaran. Dengan tidak mengetahui dan memeriksa terlebih dahulu sistem
pengajaran Islam, mereka serta merta menuduh materi-materi keislaman tak lagi
relevan bagi kemajuan zaman, maka ia harus ditinggalkan atau maksimal diberikan
dengan waktu yang amat singkat. Akhirnya orang tua atau keluarga yang notabene
belum memahami Islam, dibebani untuk memberikan pendidikan Islam. Hasilnya bisa
ditebak. Anak-anak menjadi liar, jauh dari agama dan menghalalkan segala cara.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suap dan korupsi harus dibasmi dari
permukaan bumi, karena dampak negatif yang sangat serius, tidak hanya terhadap
dirinya, bahkan bangsa dan negara dapat hancur oleh tindakan tersebut. Upaya
penanggulangannya, selain dengan memperketat penegakan hukum yang adil, juga
sangat penting menanamkan akidah dan menyuburkan dalam diri setiap warga negara
sejak kecil sampai akhir hayatnya. Beriringan dengan itu juga harus diterapkan
akhlak dan budi pekerti yang luhur. Hal ini akan mudah diwujudkan bilamana
orangtua, publik figur, pimpinan umat dari pusat sampai ke desa-desa selalu
memberikan tuntunan dan teladan yang baik. Tanpanya sungguh sulit sekali untuk
menerapkan suatu ajaran.
Melihat
banyaknya ayat-ayat Alqur’an dan Hadits yang melarang dan membenci praktek
suap, maka sudah selayaknya umat Islam menghindari perbuatan tercela itu.
Tirulah sosok Nabi Sulaiman, yang mampu memimpin umatnya dengan tidak memakan
sedikitpun harta benda milik mereka. Bahkan, makanan milik hewan saja tidak
disentuh oleh Sulaiman. Bayangkan, apabila pemimpin di Indonesia memiliki jiwa
seperti itu, maka bisa dipastikan rakyat Indonesia tidak akan ada yang
menderita apalagi sengsara. Kehidupan masyarakat akan tentram, damai, sejahtera,
dan tidak akan ada yang miskin. Sebab, harta yang menjadi milik mereka tidak
diambil oleh pejabat.
Namun,
sangat disayangkan sekali, sampai detik ini pemimpin yang seperti itu masih
belum terlihat. Dari sekian banyak rakyat Indonesia, tidak satupun yang
memiliki jiwa kepemimpinan spiritual layaknya Nabi Sulaiman dan para nabi yang
lain. Ke depan, penulis berharap rakyat Indonesia mulai sadar dan mulai
berbenah atas semua kerusakan di negara ini, agar tidak lagi terjadi
kasus-kasus yang merugikan negara dan rakyat, salah satunya adalah suap. Sudah
saatnya pemimpin negara ini meneladani kepemimpinan para nabi, salah satunya
adalah Nabi Sulaiman. Apa yang sudah Nabi Sulaiman contohkan, layak dan
seharusnya ditiru oleh pemimpin Indonesia. Apabila hal itu bisa terjadi, maka
bukan tidak mungkin negara Indonesia akan terbebas dari malapetaka yang sudah
membudaya. Jadi, mulai dari sekarang, pemimpin negeri pertiwi ini harus mulai
menyelami makna dibalik kata pemimpin, agar tidak salah dalam melangkah.
Semua sifat dan jiwa
kepemimpinan Nabi Sulaiman harus dimiliki oleh para pejabat di Indonesia.
Sebagai seorang pemimpin sudah seharusnya dia menjadi orang yang kaya, tentu
saja kaya hasil dari kerja pribadi bukan uang rakyat hasil korupsi dan suap.
Nabi Sulaiman sudah mencontohkan bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat.
Tidak boleh mengambil hak yang bukan miliknya.
*) Oleh: Irfan Sona.
Pengajar di Monash Institute. Tayang di Koran Wawasan, 6-1-2015
Tag :
Politik
0 Komentar untuk "Pemimpin Anti Suap"