Demokrasi; Dominasi vs Alienasi

Ali Mahmudi
Sebagai sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia, demokrasi telah mengalami berbagai sejarah yang dramatis di beberapa bagian dunia. Seperti momentum di Jerman dengan runtuhnya tembok Berlin, berakhirnya apartheid di negara-negara dunia, dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan  perjuangan masyarakat demi menegakkan sistem demokrasi yang ideal, jauh dari tirani, kediktatoran dan pemerintahan yang otoriter.

Sesuai dengan definisi demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani, dēmokratía yang berarti kekuasaan rakyat, dan dibentuk dari kata dêmos (rakyat) dan Kratos (kekuasaan). Robert A. Dahl (1998) menjabarkan beberapa acuan dalam sistem demokrasi, yaitu pejabat-pejabat yang dipilih oleh rakyat, pemilu yang bebas, adil dan berkesinambungan, kebebasan berekspresi, akses informasi yang terbuka luas, kebebasan berasosiasi, dan kewarganegaraan yang inklusif.

Sedangkan dalam konteks negara Indonesia, sistem demokrasi telah digunakan semenjak berdirinya negara ini. Mulai demokrasi terpimpin yang diterapkan oleh Ir. Soekarno, demokrasi zaman orde baru, hingga demokrasi sekarang ini yang terkenal dengan demokrasi pancasila. Dengan ekspektasi pembentukan negara yang anti terhadap watak feodalisme dan imperialisme, dan lebih berharap pada watak yang sosialis. Demokrasi di Indonesia diharapkan dapat menerapkan keadilan sepenuhnya, dengan arti terbukanya peluang semua orang dan tidak mengindahkan dari kelompok atau dari golongan mana seseorang itu berasal.

Namun dalam perkembangannya, demokrasi di negara ini masih ada beberapa kekurangan yang menurut penulis harus dibenahi. Misalnya dalam pemilihan umum yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Kekuatan hak suara seseorang yang mempunyai kredibilitas tinggi atau berpendidikan dan orang biasa-biasa saja, mempunyai ukuran yang sama dalam penilaiannya. Padahal, mayoritas orang berpendidikan akan menggunakan hak suaranya dengan sebaik-baiknya. Dengan cara mencari tahu kapabilitas sesorang yang akan dipilih dan lain-lain. Sedangkan, orang yang mempunyai kapabilitas biasa-biasa saja atau menengah ke bawah dalam menyalurkan hak suaranya, mayoritas masih mengandalkan politik uang. Jadi, akan lebih baik jika terjadi pembedaan terhadap kekuatan hak suara seorang berpendidikan dengan orang yang tidak berpendidikan. Tentunya dengan diimbangi kecerdasan spiritual yang tinggi dari masyarakat.

Dominasi vs Alienasi
Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Dengan kata lain bahwa, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, atau sesuai dengan adagium “Vox Populi Vox Dei” suara rakyat adalah suara Tuhan. Namun, dalam kenyataan yang dihadapi oleh kebanyakan negara di dunia, khusunya Indonesia. Demokrasi masih mengaleniasi kelompok minoritas dalam masyarakat. Seolah-olah, suara kelompok minoritas dari suatu negara tidak akan pernah diindahkan, bahkan didengar suaranya. Sebab dalam prakteknya, suara yang absolut berasal dari suara terbanyak, bukan dilihat suara mana yang lebih baik di antara yang lain.

Walaupun di dalam sebuah negara demokrasi terdapat perwakilan dari kelompok minoritas masyarakat. Namun kebijakan-kebijakan legislatif tidak pernah menyentuh kepentingan minoritas dalam sebuah negara. Misalnya, masih banyak sekali kita temukan kekerasan atas nama SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan). Dan kelompok minoritas masyarakatlah yang menjadi korban dari kekerasan tersebut. Di samping itu juga, penyelesaian terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap kaum minoritaspun masih belum sepenuhnya tertuntaskan. Bahkan, alienasi terhadap kaum minoritaspun semakin dinyatakan bertambah jelas oleh kelompok mayoritas. Misalnya kasus kekerasan yang terjadi pada kelompok Ahmadiyyah. Kelompok yang melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyyah seolah-olah tidak mendapat tindak lanjut dari aparatur negara.

Sebagai negara yang mempunyai keberagaman penduduk (plural), kasus-kasus kekerasan atas nama SARA, ketegangan politik, pertentangan ideologi, masih sering terjadi. Oleh karena itu, sebagai sistem demokrasi yang digunakan di Indonesia, demokrasi pancasila harus benar-benar bisa melindungi segenap bangsanya dari intimidasi maupun intervensi suatu kelompok. Sebab, suara mayoritas tidak bisa menentukan sebuah hasil dari kesepakatan jika tidak berdasar pada kebenaran dan keadilan.

Oleh karena itu, demokrasi di Indonesia masih terbilang sistem demokrasi yang gagal jika kita mengikuti pendapat Afam Gaffar (1997) ketika berpendapat tentang gagalnya sistem demokrasi terpimpin. Penyebab gagalnya demokrasi terpimpin (1959-1965) adalah politik aliran menjadi dominan sehingga membangun konsekuensi terhadap pengelolaan konflik, dan basis sosial ekonomi yang sangat lemah.

Sebagaimana pendapat kebanyakan orang bahwa, demokrasi adalah sistem pemerintahan buruk dari alternatif-alternatif sistem pemerintahan lain yang lebih buruk. Misal, sistem pemerintahan otoriter yang pernah diterapkan di berbagai negara; salah satunya Mesir dengan Husni Mubarok, seolah-olah bagaikan bom waktu. Sebab, mayoritas kebijakannya tidak menaungi rakyat banyak dan bahkan lebih mementingkan pribadi maupun golongan. Sehingga, kekuasaan otoriter tersebutpun akhirnya tumbang di tangan rakyat. Suatu sistem otoriter mempunyai kelebihan dapat mempermudah semua hal, termasuk pembangunan, penataan keamanan negara, dan lain-lain. Namun, sewaktu-waktu akan timbul perlawanan dari kelompok yang tertindas untuk menggulingkan kekuasaan yang bersifat otoriter.


Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi masih diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam setiap perkembangannya. Agar sistem demokrasi benar-benar menaungi dengan seadil-adilnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Wallahu A’lam
Tag : Politik
0 Komentar untuk "Demokrasi; Dominasi vs Alienasi"

Back To Top