UN dan NU

Format ulang sistem penentuan kelulusan Ujian Nasional (UN) dirasa dapat sedikit melegakan pelajar di Indonesia. Awalnya UN menjadi momok, karena prosentasi nilai terbanyak ditentukan oleh ujian tersebut. Momok tersebut nampak jelas karena tidak sedikit pelajar stres gara-gara UN. Akhirnya, tradisi Nahdlatul Ulama’ (NU) seperti; istighosah, tahlilan, do’a bersama, dan ziarah, menjadi alternatif berharap dapat ‘menjinakkan’ momok UN.
Oleh: Vera Abdillah*

Ujian format lama memang banyak yang menentang. Seolah-olah jerih payah siswa selama menempuh pendidikan hanya ditentukan oleh ujian nasional. Dampaknya pun serius, siswa yang tidak lulus akhirnya kehidupannya pupus. Walaupun ada ujian paket, langkah itu belum mampu mengobati kekecewaan siswa yang gagal dalam pelaksanaan UN. Justru, hakikatnya dampak paling besar akibat kegagalan UN adalah kejiwaan siswa.

Mereka akan merasa malu karena jatuh tanpa arah, mereka menyesal karena belajarnya seakan tidak maksimal, dan mereka takut bangkit karena sangsi sosial dicap sebagai siswa yang tidak lulus. Jadi jangan heran ada kasus bunuh diri akibat pelaksanaan UN. Dengan demikian, tradisi NU dianggap mampu mengendalikan kejiwaan siswa. Sebab, jiwa yang tenang akan mempengaruhi cara pandang, cara berucap, dan cara bersikap yang baik.

Masalahnya, format ulang yang tidak lagi menjadikan nilai UN sebagai prosentasi nilai terbanyak (baca; nilai UN 40% dan nilai raport 60%), apakah UN masih menjadi momok? Lantas, jika momok tersebut sudah hilang, apakah tradisi religi NU akan tetap dipertahankan di setiap pra-UN? Nah, ini yang perlu ditela’ah lebih mendalam, apakah selama ini tradisi NU hanya menjadi obat penyembuh sesaat, ataukah murni menjadi tradisi untuk mencari ridho dari Allah.

Meluruskan Orientasi UN
Evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pelaksanaan UN, yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik, harus sesuai dengan Permendiknas nomor 20 tahun 2007 tentang standar penilaian pendidikan. Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu.

Sisi kelebihan UN, ujian tersebut dapat memicu ghirah belajar antar siswa, antar instansi pendidikan, dan antar dinas pendidikan. Dengan demikian, hasil UN dapat menjadi parameter kualitas pendidikan mana yang patut diapresiasi, dan mana yang patut diperhatiakan lebih. Melalui UN, paradigma siswa juga telah ditata sejak awal masuk sekolah. Adanya UN, maka arah pendidikan sudah tertata dan siswa dituntut mampu melewatinya.

Sedangkan sisi negatifnya sudah banyak disinggung di atas. Hanya saja UN dirasa tidak adil. Mengenai mekanisme, prosedur, dan instrumen dalam pelaksanaan UN tidak dapat sepenuhnya disamakan. Ada ketimpangan dalam hal tersebut. Sebab, kualitas siswa berbeda-beda, kualitas penunjang belajar, kualitas pengajar, semuanya berbeda dan mustahil disamakan. Lebih khusus lagi, yang lebih banyak waktu dengan siswa adalah pihak sekolah, jadi yang patut menentukan lulus atau tidaknya adalah pihak sekolah.

Pasalnya, pelaksanaan UN merupakan kegiatan penting bagi pemerintah. Karena dengan dilaksanakan UN, pemerintah dapat mengevaluasi sistem pendidikan di Indonesia secara menyeluruh. Namun bagi siswa UN dapat menjadi beban mental, karena mereka menganggap bahwa lulus atau tidaknya mereka hanya bergantung dari nilai UN saja. Sehingga pemerintah perlu meluruskan kembali terkait sistem pelaksanaan UN dan kriteria dalam pencapaiannya.

Meluruskan Orientasi Tradisi NU
Sebelum dilaksanakan UN, kondisi psikologi siswa mulai tergoncang dengan adanya kecemasan atau ketakutan dalam menghadapi UN. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rasa takut, khawatir, rendah diri, berharap dapat contekan, dan lain sebagainya. Menurut  pendapat Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd, Kons, bahwa kecemasan atau ketakutan yang dialami oleh siswa dalam menghadapi ujian nasional menurut teori Freud dinamakan sebagai kecemasan obyektif (objective anxiety).

Hal ini menjadi faktor internal bagi siswa dalam mengerjakan soal ujian nasional, karena kebanyakan dari mereka belum siap secara batin. Sehingga siswa akan mengalami kemerosotan kepercayaan diri. Padahal kunci sukses menghadapi ujian nasional adalah membangun rasa percaya diri untuk mencapai keberhasilan. Maka dari itu, siswa harus menghilangkan pemikiran bahwa ujian nasional merupakan hal yang menakutkan.

Adanya ketakutan tersebut akan terus meningkat seiring dengan pesatnya kemajuan peradaban material dan minimnya pendekatan diri kepada Tuhan. Dengan demikian, perlu diadakan kembali tradisi NU menjelang dilaksanakannya UN, khususnya bagi sekolah yang berlatarbelakang NU. Misalkan SMP Ma’arif Hasyimiyah Mengare Bungah Gresik yang melakukan kegiatan istighasah dalam rangka membangun kembali kepercayaan diri siswa dalam menghadapi ujian nasional.

Dengan diadakannya istighasah, siswa dapat berserah diri kepada Allah atas usaha yang telah dilakukan sebelum UN berlangsung. Sehingga siswa akan merasa percaya diri dalam mengerjakan soal-soal ujian. Hal ini juga berpengaruh besar pada hasil UN nanti. Nah, dengan demikian peran guru juga sangat diperlukan dalam membina dan mengawasi siswa untuk senantiasa belajar dan bertawakal atas usaha yang telah dilakukan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

*) Peneliti muda di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN) untuk UIN Walisongo Semarang. Tayang di Koran Jateng pos, edisi 5 februari 2015
0 Komentar untuk "UN dan NU"

Back To Top