Hakekat Politik dan Etos Kerja Positif

Hakekat Politik dan Etos Kerja Positif
Oleh: Aryo Sudaryono*
Optimisme masyarakat melekat erat dalam menghadapi masa pemilihan umum. Kendati pada tahun ini rasa prihatin terlalu sulit untuk dilepas dari benak publik. Pasalnya, realita perpolitikan negeri yang kian berada pada level yang memprihatinkan. Keadaan yang tidak dapat dipungkiri, mengingat semakin beratnya persaingan antar parpol menuju kenduri demokrasi.

Menyimak sistem perpolitikan tahun lalu, banyak ditemukan permainan politik yang justru merusak citra parpol di mata publik. Jelasnya, politik dimainkan jauh dari seni dan tujuan politik —dalam meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional— yang seharusnya diimplementasikan secara baik dan bersih. Tahun ini, terealisasinya sistem politik yang demokratis dan bersih tentu menjadi harapan semua pihak.

Dari cermin realita perpolitikan, masyarakat merasa terciderai kepercayaannya. Sehingga kinerja para wakil rakyat harus ditingkatkan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah maupun parpol yang pada puncaknya kesucian politik yang bertujuan mensejahterakan rakyat dapat tercapai. dalam teori klasiknya Aristoteles menyebutkan bahwa “politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama yang berlandaskan hukum, norma dan aturan”.

Politik juga dapat diinterpretasikan sebagai wujud pengaplikasian dari seluruh aspirasi masyarakat secara bersama, dengan lebih mengutamakan kepentingan umum dan mengesampingkan kepentingan pribadi atau kelompok. Karena pada dasarnya politik lebih cenderung berpihak pada terpeliharanya hasrat personalitas ketika sedang berkuasa pada posisi publik tertentu. Sehingga, merupakan sebuah penghianatan (anti poltik) ketika seorang yang berkuasa lebih mementingkan nafsu individual atau kelompoknya.

Kemurnian Politik
Sebagai seni atau cara memerintah, —pada realitanya— politik sering dikaitkan dengan kekuasaan yang menimbulkan pengertian keliru bahwa politik itu sekedar alat untuk mendapatkan kekuasaan yang sarat dengan praktik-praktik kotor dan tidak baik. Politik pun tak jarang difahami sebagai seni otoriter dengan menganggap remeh kaum inferior. Parahnya, para “lakon” menggunakan kekuasaan yang telah diraih sebagai kendaraan merauk keuntungan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Namun, sejatinya politik itu baik, selagi orang yang berperan di dalamnya pun baik. Karena yang menjadikan buruknya makna politik itu sendiri adalah pelaku politik. Dalam konteks ini membimbing, mengarahkan, dan memberikan peluang bagi publik untuk dapat bertindak secara jujur (autentik) adalah sikap politik demokratis yang baik. Dikarenakan politik merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan partisipasi dan solidaritas publik dalam mewujudkan kepentingan bersama. Mengeliminasi nafsu duniawi yang hedonis dan individualis perlu ditegakkan secara tegas.

Sayangnya, fakta berlainan. Pada praktiknya sangat sulit ditemukan perwujudan dari hakekat politik. Seolah-olah politik bersih hanya sekedar slogan yang tidak terealisasi dan hanya politik busuk penuh dengan bumbu korupsi, hukum tebang pilih, dan suap, yang secara jelas dipertertontonkan kepada rakyat. Kekuasaan dan hukum dijadikan alat untuk  memenuhi kepentingan dalam mencapai kesejahteraan individu.

Dengan menyumbangkan tenaga, pikiran dan pribadi yang arif untuk publik, seharusnya politisi memuliakan negara sebagai bentuk pengabdian. Bukan menjadikan politik sebatas tunggangan menuju kekuasaan demi nafsu duniawi. Karena sungguhnya prilaku tersebut tidak didasarkan pada niat dan motivasi yang tulus dalam berpolitik. Max Weber menyebutnya sebagai bentuk “praksis politik yang egoistik”.

Politik hanya sebatas alat menuju kekuasaan yang sarat dengan praktik kotor. Pernyataannya adalah bagaimana tujuan politik yang mulia dapat kembali? Bagaimanapun politik harus dikembalikan kepada hakekat dasarnya, kemudian diamalkan dan diprioritaskan bagi kepentingan bersama untuk mensejahterakan rakyat bukan sebatas slogan. Bulan-bulan politik yang tidak bisa dipungkiri, sebagai prepare atas pesta demokrasi, peningkatan kultur politik yang tidak hanya pintar beretorika namun beretorika secara pintar dan realistis menjadi hal mutlaq untuk dilaksanakan. Budaya politik asketis, transparan, dan terhormat harus segera dipraktikkan, dan disusul dengan pendeletan segala bentuk kultur politik kotor dan apatis terhadap masyarakat.

Fakta berkata, pemimpin pandai berjanji namun tak kunjung terealisasi. Untuk menciptakan politik yang bersih, bangsa harus berani melawan arus politik syetan yang sepihak menuju politik yang beretika, bermoral dan substantif. Untuk itu butuh kesadaran, etikad baik, dan semangat juang tinggi dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.

Hidup adalah melihat dan menyimpulkan, kemudian mengejawantahkan kesimpulan dalam tindakan dengan meningkatkan etos kerja yang produktif. Mengutip Sayyidina ‘Ali, “Ketika kita tidak mendapatkan keadilan, maka kita sendirilah yang harus memberikan keadilan dengan cara berkuasa”. Itulah politik, berkuasa untuk memberi kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat marginal. Dengan etos kerja dan semangat juang yang tulus ikhlas, akan tercermin cahaya harapan untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Wallahu a’lam bi al-shawab.

*) Pegiat Kajian Ilmu Politik, Penulis di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN),
Peraih Besiswa Ungulan Monash Institute untuk IAIN Walisongo.
Tag : Politik
0 Komentar untuk "Hakekat Politik dan Etos Kerja Positif"

Back To Top