![]() |
Oleh: Arum Afifatur Rohmaniyati* |
Melihat hal itu, tentunya dibutuhkan konsep yang matang untuk menghadapinya, baik menyangkut pemerintah maupun kesiapan sumber daya manusia (SDM). Lengah sedikit saja, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan. Di antaranya adalah kualitas dan nilai jual produk-produk dalam negeri akan tergilas dengan produk luar negeri. Sehingga, masyarakat cenderung membunuh kreatifitas mereka dan lebih memilih menjadi penikmat produk negara lain. Parahnya lagi, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi perdagangan bebas di kawasan ASEAN.
Oleh karena itu, dibutuhkan SDM yang benar-benar canggih dan mempunyai daya saing serta kepercayaan diri tinggi untuk berusaha memenangkan pasar MEA. Akan tetapi, fakta menunjukkan hal yang berbeda. Pendayagunaan SDM di Indonesia masih belum optimal. Pasalnya, mereka belum mampu mengoptimalkan sumber daya alam (SDA) secara maksimal. Sumber daya alam yang tersedia masih dibiarkan tanpa dikelola dengan baik. Bahkan, dimanfaatkan oleh para tikus dan oknum untuk memenuhi kantong perutnya.
Banyaknya pengangguran juga menjadi tolok ukur ketidaksiapan bangsa ini dalam menghadapi MEA. Tingkat pengangguran yang sangat tinggi, baik pada masyarakat kota maupun desa. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa angka pengangguran hingga saat ini sebesar 7, 39 juta orang dari total angkatan bekerja 118,19 juta orang. Hal ini bisa disebabkan oleh mereka tidak memilki kemampuan atau bisa juga karena lapangan pekerjaan yang masih minim. Walaupun sesungguhnya ketidakmampuan mereka merupakan bagian dari kesalahan pemerintah juga.
Ironisnya, masih banyak pekerja yang menjalani pekerjaannya hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Mereka masih berorientasi hanya pada materi tanpa berfikir untuk mengentaskan negeri dengan melepaskan perbudakan diri. Ini tantangan.
Banyak cara dan strategi yang dapat dilakukan masyarakat Indonesia dalam mengahadapi MEA. Salah satu cara untuk menjawab problematika tersebut adalah dengan membenahi cara berpikir (mindset) masyarakat khusunya para pekerja. Pasalnya, orientasi yang semata-mata mengejar materi tidak akan mampu membantu mengentaskan masalah perekonomian di negeri ini. Oleh karena itu, untuk memajukan Indonesia, dibutuhkan intelektual-intelektual dengan kualitas tinggi yang berani mendedikasikan diri dan mengabdi untuk Negeri. Nantinya diharapkan tidak ada lagi kaum terpelajar yang memilih menjual kemampuan mereka kepada asing.
Selain itu, jumlah pengangguran yang masih relatif tinggi di kalangan masyarakat pedesaan maupun perkotaan dapat diatasi dengan pengasahan kemampuan melalui pelatihan kerja. Hal ini sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pelatihan tersebut bertujuan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan. Sehingga, akan lahir pekerja-pekerja baru dengan etos kerja unggul yang nantinya akan mampu bersaing dengan masyarakat ASEAN lainnya.
Teladan Saemaul Undong
Tidak ada salahnya jika masyarakat Indonesia bisa meneladani spirit Saemaul Undong di Korea Selatan (Korsel). Semaul Undong berasal dari kata (sae) yang berarti “baru”, (maeul) yang berarti “desa/ komunitas”, dan (undong) yang berarti “gerakan”. Jadi, Saemaul Undong merupakan suatu gerakan perubahan dan reformasi pedesaan menuju kehidupan yang lebih baik dengan kata lain meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Gerakan ini menjadi salah satu faktor peningkatan perekonomian Korea Selatan. Negara yang dijuluki sebagai Negara Gingseng tersebut telah berubah dari negara miskin menjadi negara kaya dan kuat yang mampu bersaing dengan negara-negara kuat di dunia. Dalam hal ekonomi, peningkatan pendapat per kapita Korea Selatan telah meningkat dari 80 dolar per kapita hingga mencapai 25.000 dolar per kapita. Mereka telah berhasil meningkatkan pendapat per kapita sebanyak 235 kali lipat. Hal ini berbeda dengan kondisi Indonesia. Dengan usia yang hampir sama, Indonesia hanya mampu melipatgandakan 31 kali saja, yakni 2.200 dolar per kapita per tahun..
Tiga spirit yang ada di dalam gerakan ini yaitu ketekunan, swadaya, dan kerjasama. Pertama, ketekunan dan keteguhan yang telah digambarkan oleh masyarakat Korsel dapat mengentaskan mereka dari kemiskinan akibat minimnya sumber daya yang mereka miliki.
Kedua, yang tidak kalah penting adalah swadaya masyarakat. Mereka dengan sukarela dan tidak tanggung-tanggung menyumbangkan apa yang telah dimiliki untuk mensukseskan program tersebut. Tentunya, hal ini tidak dapat berjalan ketika tidak didukung oleh negara yang dalam hal ini adalah pemerintah. Gerakan tersebut telah berhasil diwujudkan atas kerjasama antara pemerintah dengan rakyatnya.
Ketiga, adalah sinergi positif dan konsistensi dalam mensukseskan program tersebut. Sinergitas yang tinggi sangat diperlukan dalam hal ini. Sebab, untuk mencapai keberhasilan yang dicita-citakan dibutuhkan kerjasama diantara berbagai pihak. Mengingat keberhasilan yang nanti akan diperoleh juga untuk kepentingan bersama.
MEA 2015 merupakan momentum yang tepat untuk menggunakan tiga spirit yang dilakukan oleh masyarakat Korea Selatan tersebut. Sebab, dibandingkan dengan Korsel, Indonesia telah nyata memiliki kekayaan alam mulai dari sector pertanian, pertambangan, peternakan, dan yang lain. Selain itu, kondisi alam yang lebih unggul seharusnya menjadi modal bagi Indonesia untuk bersaing dalam pasar MEA tersebut. Apalagi ditambah dengan SDM yang seharusnya dapat dimaksimalkan dengan benar. Dengan hal itu, diharapkan Indonesia dapat bersaing dalam MEA.
*) Mahasiswa UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Muda di Lembaga studi agama dan Nasionalisme (LesaN) Kota Semarang. Tayang di Koran Suara Karya, 13-02-2015
Tag :
Ekonomi
0 Komentar untuk "MEA dan Negara Mandiri"