![]() |
Oleh: Akha Bukhari* |
Dalam sirah nabawiyah, beliau dilahirkan di Kota Makkah, Senin, 12 Rabiul Awal tahun Gajah, tepatnya 20 atau 21 April 571 M. Bersamaan dengan peristiwa gagalnya penyerangan Abrahah ke Makkah bersama Pasukan Gajah, itulah sebabnya dinamakan Tahun Gajah. Jadi sudah hampir 14 abad lebih semenjak kita ditinggalkannya.
Kemunculan tradisi Maulid Nabi pertama kali dipelopori oleh bani Ubaid al-Qodah. Pada tahun 362 H, Bani Ibadiyyu telah berhasil memasuki wilayah Mesir. Sehingga peringatan tersebut berkembang pesat di wilayah itu dan menjadi tradisi yang diakui oleh Syiah Fathimiyyah.
Bani Fathimiyyah memang dikenal memiliki banyak tradisi peringatan hari-hari besar dan selametan (bahasa jawa: tasyakuran). Seperti peringatan maulid Nabi, maulud Hasan dan Husein, maulud Fathimiyyah, hari Asyura (10 Muharram) dan peringatan 7 hari kematian serta lainnya.
Begitu pula, saat pemerintahan Sultan Salahuddin dari Dinasti Salajikah. Tradisi maulid Nabi Muhammad Saw. dilakukan bersamaan dengan upacara berjanjian. Cara peringatan tersebut tidak jauh beda dengan kaum Nahdliyyin, pembacaan berjanjian dilakukan selama 12 hari semenjak hari pertama di Bulan Rabiul Awwal. Maka dari itu, seringkali kita mendengar lantunan sholawat yang saling bersautan satu sama lain, seakan menambah kemeriahan peringatan maulid, terutama pada malam hari.
Makna berjanjian ialah menyanjung, mengundang dan pemberian rasa hormat oleh kaum muslim kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai ungkapan rasa cinta (mahabbatun ila rasul). Abu Hasan al-Barjanji (penyusun naskah Al-barjanji), mengungkapkan hal yang sama terhadap tujuan dari pembacaan Al-barjanji tersebut.
Menurut catatan sejarah Islam, Perang Salib merupakan momen pertempuran besar antar umat Islam dengan umat Kristen Eropa. Perang yang dinilai cukup lama. Sehingga memunculkan inisiatif dari Shalahuddin Al-Ayyubi, seorang panglima pasukan Islam yang dikenal sangat bijaksana, terampil dan cerdas.
Sang Panglima memberikan intruksi untuk mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. bagi seluruh pasukannya. Alasannya, untuk membangkitkan semangat para pasukannya dengan mengambil hikmah dari teladan Rasulullah Saw.
Sehingga pasukan Islam tergugah semangat dan motivasi untuk memenangkan peperangan tersebut. Al hasil, pasukan Islam dapat mengalahkan umat Kristen Eropa dalam perang Salib dan mengusirnya dari dunia Islam.
Kini, Umat muslim merayakan maulid Nabi dengan beragam cara yang sangat bervariasi. Ada yang merayakan dengan mengadakan agenda perlombaan, seperti lomba albarjanji, rebana, dan lain sebagainya. Selain itu, ada pula dengan upacara peringatan Maulid Nabi Saw. seperti pengajian akbar disertai serangkaian acara berupa tahlilan, pembacaan barjanji dan srokol-an, pesta hidangan serta lainnya.
Kemeriahan pun terkesan luar biasa bagi umat Islam di seluruh jagat, begitu pula di Indonesia. Akan tetapi, sebagian kalangan menilai memeringati maulid nabi merupakan tindakan bid’ah dan ada pula yang menganggap sunnah. Sebenarnya memperingati tradisi maulidun Rasul Saw. termasuk ibadah atau bid’ah?
Seringkali argumentasi tersebut menjadi pro-kontra antara kalangan satu dan lainnya. Perdebatan yang selama ini tidak mencapai ujung kesepakatan ini, seakan menjadi dilema bersama. Bahkan, apabila tidak ada solusi yang semakin melarut, akan dapat memunculkan kesenjangan, hingga berakibat pada rusaknya sendi-sendi ukhuwah Islamiyah.
Ibadah atau Bid’ah
Sebagai hari besar yang dirayakan oleh hampir seluruh umat Islam di dunia. Sebagian kalangan ulama menganggap peringatan Maulid Nabi ialah bid’ah. Akan tetapi, ada pula yang menganggapnya itu adalah bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bernilai ibadah. Hal ini menjadi renungan bersama bagi umat Islam, terutama di Indonesia. Meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi perbedaan itu juga dirasakan di negeri ini.
Kondisi umat Islam jangan sampai terdikotomikan adanya perbedaan tersebut. Pemaknaan maulid Nabi seharusnya dimaknai dengan nuansa damai dan menjunjung persatuan (ukhuwah). Peringatan maulid Nabi boleh saja dirayakan, dan bernilai ibadah jika dilaksanakan dengan bijak. Misal, dalam pembacaan Al-barjanji dan sholawatan, dimaknai semacam do’a kepada Allah Swt. melalui kecintaan dan penghormatan kepada Nabi Saw. Itu sangat diperbolehkan dan tergolong bid’ah hasanah.
Maka perintah membaca shalawat bagi Nabi Saw. sangat dianjurkan dan diperbolehkan. Seperti yang tertera dalam firman Allah Swt. “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (Q.S. Al-Ahzab: 56).
Namun peringatan tersebut harus kita hindari. Jika peringatan tradisi tersebut dilakukan dengan niat pemujaan yang berlebihan kepada Nabi Saw. hingga meminta do’a kepadanya, bukan kepada Allah. Itu merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam Islam. Selain itu, apabila dalam prosesinya justru bertentangan dengan ajaran syari’ah Islam, meskipun mengatasnamakan peringatan Maulid Nabi, perbuatan semacam itu tergolong bid’ah sayy’iah.
Oleh sebab itu, jika implementasi peringatan maulid nabi dilaksanakan dengan baik, maka akan bernilai sebuah ibadah. Sebaliknya, lebih berimplikasi pada kemadharatan, segera kita cegah dan tinggalkan. Namun, selama peringatan tersebut memberikan kemashlahatan, artinya boleh-boleh saja dilaksanakan.
Semoga perayaan maulid Nabi Muhammad Saw. dapat menumbuhkan spirit keislaman dan meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt. Dengan meneladani kepribadian dari Rasulullah Saw. sebagai panutan dalam menjalani roda kehidupan. Seperti inisiatif yang dilakukan oleh Salahuddin Al-Ayyubi dalam membangkitkan semangat para pasukan Islam demi memenangkan Perang Salib. Selain itu, pro-kontra antar kalangan dijadikan sebagai perbedaan yang membawa rahmat, dengan saling bersikap toleransi. Sehingga akan menumbuhkan dan menguatkan ukhuwah Islamiyah. Amin.
*) Alumnus MAN 2 Semarang, Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang. Tayang di koran Wawasan
Tag :
Ke-Islam-an
0 Komentar untuk "Pro-Kontra dan Spirit Maulid Nabi"