![]() |
Oleh: Ahmad Anwar Musyafa'* |
Dengan realitas tersebut, masyarakat sering menganggap agama sebagai akar dari suatu permasalahan. Lebih ironis, ada anggota masyarakat yang menganggap agama sebagai candu. Agama adalah candu, hal itu diutarakan Karl Marx. Lebih jauh Lenin yang menulis bahwa agama sebagai ”candu bagi rakyat” hanyalah ciptaan kelas-kelas atas untuk menenangkan rakyat tertindas (Lenin ,1956). Namun ungkapan dari duafilsuf besar diatas sering disalah pahami. Marx tidak membicarakan sifat positif atau negatif fungsi agama dalam masyarakat.
”Agama sebagai candu” dilontarkan Marx sebagai tanggapan kritik agama Feurbach. Sependapat dengan Feurbach, Marx beranggapan memang betul agama adalah dunia khayalan di mana manusia mencari dirinya sendiri. Tapi menurut Marx, kritik Feurbach tidak lengkap. Feurbach tidak bertanya mengapa manusia melarikan diri ke khayalan daripada mewujudkan diri dalam kehidupan nyata. Jawaban yang diberikan Marx adalah karena struktur kekuasaan tidak mengizinkan manusia untuk mewujudkan hakikatnya dalam kehidupan nyata.
Dalam artian, manusia melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata menindasnya. (Magnis-Suseno 1999, bab 4). Di samping itu, tak ada alasan bagi semua umat beragama untuk menjustifikasi bahwa agama merupakan akar dari permasalahan. Kita harus memaknai kembali esensi dari keberagamaan itu sendiri dan bagaimana agama memandang keberagaman. Karena semua agama pasti mengajarkan kedamaian. Arti dari kata agama itu sendiri bermakna ”tidak rusak” dan pada hakikatnya semua agama pasti mengajarkan umatnya menuju persatuan dan kesatuan, bukan kerusakan.
Sama seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika,jika agama dijadikan sebagai ajang menuju kesatuan dan persatuan seharusnya keanekaragaman agama yang ada di negeri ini bisa menjadikan umat manusia lebih rukun, damai, dan sejahtera. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
*) Peneliti di Monash Institute dan Aktivis HMI IAIN Walisongo Semarang
Tayang di Koran Sindo
Tag :
Ke-Islam-an
0 Komentar untuk "Keberagaman dan Keberagamaan"