HAM (Bukan) Panglima Keadilan


Oleh: Rudi Sharudin Ahmad*
            Polemik eksekusi mati yang dijatuhkan oleh pemerintah Indonesia terhadap gembong narkoba menjadi isu yang mengganjal bagi segenap bangsa yang bersangkutan, sebut saja Australia, Brazil dan Belanda. Keputusan presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang eksekusi mati merupakan langkah pemerintah Indonesia yang tepat dalam pelaksanaan eksekusi terpidana mati kasus narkotika meski tampak menemui berbagai ganjalan. Berbagai negara yang warganya terancam pidana mati berupaya mati-matian agar mereka dapat menghindari ketegasan hukum yang diterapkan.
            Langkah pemerintahan menjadi awal daya kekuatan bagi Indonesia terhadap penegakan hukum. Sebab, kasus narkoba bukanlah kasus yang baru pemerintah hadapi. Maka ketegasan yang diambil oleh pemerintahan saat ini perlu diapresiasikan. Konsistensi penerapan hukum mati terhadap pengguna sekaligus bandar narkoba harus dijaga betul oleh pemerintah. Supaya tidak mengancam kepada generas penerus bangsa.
            Ironisnya gembong narkoba ini, meski tertahan dibalik jeruji besi (sel), namun tidak menghalangi mereka untuk tetap mendistribusi barang haram tersebut juga tidak membuat mereka jera akan hukuman yang sedang dialami. Mislanya kasus pengedaran narkoba tersebut oleh terpidana narkoba asal Nigeria.
            Bagi Indonesia tentunya sangat tidak lazim menghadapi problematika seperti ini. Sungguh kemirisan bagi Indonesia yang menjadi negara mayoritas muslim terbesar didunia mendapat julukan “Negeri Surga Narkoba”. Maka langkah yang diambil oleh pemerintahan dalam hal ini Jokowi menjadi suatu integritas bagi Indonesia dalam ketegasan hukum. Dengan hukum seperti ini diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi konsumen barang haram tersebut.
            Pemerintah tidak lagi harus ragu dengan keputusan yang ditetapkan. Meski menghadapi berbagai macam ancaman dari berbagai pihak yang bersangkutan dan himbauan langsung dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Hak Manusia Amnesty Intersansional. HAM (Hak Asasi Manusia) bukan lagi senjata untuk meringankan atau melepaskan hukuman yang berdampak kepada kerusakan moral bergenarasi. Dengan begitu para konsumen narkoba sedikit demi sedikit akan berkurang.
            Kesalah-kaprahan masyarakat saat ini, bahwa narkoba dijadikan sebagai obat layaknya permen untuk dikonsumsi. Padahal, narkotika digunakan untuk penyembuhan penyakit bahkan itupun tidak terlepas dari resep dan dosis dari ahli medis. Maka dalam pandangan Islam keharaman obat-obatan tersebut diduga bukan dari zatnya, melainkan penyalagunaan barang tersebut. Selain itu narkoba juga mengandung zat yang membuat orang menjadi kecanduan yang apabila tidak mengkonsumsi akan merenggut nyawa.
            Hukum mati merupakan resiko yang pantas menjadi tanggungan bagi pengkonsumsi ataupun bandar narkoba. Karena hal tersebut sangat membahayakan tidak hanya bagi dirinya namun bagi  orang lain. Karena mengancam, meracuni juga membuat kerusakan baik fisik maupun psikis seseoang. (Lihat: Q.S al-Maidah:33).

            Dengan keadaan Indonesia yang sedemikian problematika dihadapi, diharapkan akan mengurangi beban pemerintah sebagai penentu kebijakan dalam menjalan eksekusi mati terhadap narapidana narkorba. Sebab, jika hukum tidak  ditegaskan akan mengulang kembali permaslahan yang sudah diperbincangkan, hal tersebut tentunya hanya membuang energi pemerintah. Dengan adanya terapi kejut ini, diharapkan pemerintah akan tetap konsisten dalam menjalankan hukum sebagai kedaulatan bangsa agar Indonesia tidak lagi dipandang sebagai negara yang tidak bertarbat. Wallahu ‘Alam bi Ash-Shawab.

*) Direktur Program Kajian Perdesaan Monash Institute; Peneliti di LPM NAFILAH Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang. Edisi 4 Mei 2015 @Rakyat Jateng.
Tag : Politik
0 Komentar untuk "HAM (Bukan) Panglima Keadilan"

Back To Top