Siapa Ulama yang Pantas Berpolitik?

Muhammad Ali Fuadi
Selama ini, ulama digadang-gadang memiliki kemampuan lebih untuk dapat melakukan perubahan dalam dunia politik. Sehingga dalam kehidupannya, mereka yang paling banyak dijadikan contoh dan teladan bagi masyarakat, karena merupakan tokoh dalam masyarakat itu sendiri. Disamping keilmuannya yang luas, meliputi kecerdasan intelektual dan spiritual, mereka juga memiliki kemampuan dalam berdakwah menyampaikan risalah bagi masyarakat.

Namun harus disadari pula, saat ini peranan ulama tidak bisa kalau hanya dilihat dari segi spiritual dan intelektual saja dalam masyarakat, melainkan banyak hal yang harus dipahami untuk dapat berkecimpung dalam dunia politik. Ulama mempunyai peran dan posisi strategis dalam masyarakat. Posisi yang diperoleh tersebut tidak bisa dianggap kalau mereka hanya merupakan tokoh dalam masyarakat yang mempunyai peran dalam bidang religiusitas. Namun juga dilihat dari peran seorang ulama yang menjadi penerang di tengah konstelasi masalah politik yang semakin karut-marut ini.

Dalam hal ini, ulama dapat menjadi satu pusat kekuatan dan ujung tombak dalam usaha mencapai peradaban sosial di Indonesia. Itu artinya, seorang ulama yang ingin mendedikasikan diri untuk negara harus memiliki kapabilitas dan integritas tinggi, karena merupakan ujung tombak bangsa untuk dapat mewujudkan peradaban sosial yang diharapkan masyarakat selama ini. Sebab, untuk menjadi pemimpin di negara multikultural sebagaimana Indonesia ini, seseorang harus mahir dalam segala hal, tidak hanya dalam beberapa aspek saja.

Di samping itu, konstelasi politik tidak selalu stagnan, tetapi kapan saja dapat berubah sesuai dengan kondisi perpolitikan yang ada. Dalam konstelasi politik yang terlaksana selama ini, sudah menjadi suatu keniscayaan apabila dalam pertarungan politik, siapa pun dihadapkan dengan pertarungan yang serba praktis. Peran ulama yang seharusnya menjadi penyejuk atas panasnya masalah politik yang serba praktis, bisa saja justru terseret sendiri dalam arus dunia politik pragmatis yang ditawarkan oleh partai politik.

 Oleh sebab itu, tidak heran apabila dalam dunia politik ditemukan berbagai mimbar yang dijadikan sebagai jalan untuk mencapai tujuan politis, termasuk di dalamnya mimbar keagamaan sendiri. Dari situlah muncul sebuah pertanyaan, apakah dibenarkan jika ulama menjalankan perpolitikan secara praktis, atau hanya menjadi penopang sebagai penengah konstelasi politik?

Pertanyaan tersebut dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, apabila ulama dibenarkan menjalankan perpolitikan secara praktis, maka akan mengakibatkan munculnya berbagai kritik dari masyarakat, dan beranggapan bahwa apa saja yang dilakukan dan disampaikan oleh ulama tersebut berbau politik, atau lebih cenderung selalu mengarah ke dalam politik. Anggapan dari masyarakat seperti ini sudah biasa terjadi apabila membahas tentang politik yang dilakukan seseorang dengan tujuan hanya mengenal untuk menang. Artinya, masyarakat tidak membutuhkan politik yang serba transaksional atau yang tanpa mengedepankan win-win solution.

Kedua, apabila ulama hanya difungsikan sebagai penopang untuk menengahi konstelasi politik yang ada, maka yang terjadi akan menghasilkan perpolitikan yang lebih cenderung biasa-biasa saja dan kering, karena tidak diisi dengan mainstream politik yang berbeda. Artinya, dalam konstelasi politik dibutuhkan mainstream politik yang tidak sama, atau yang dibutuhkan adalah hal yang baru dalam dunia perpolitikan, agar tidak stagnan. Apabila stagnan, tentu yang dihasilkan dari sistem politik hanya berkutat pada hal yang sama, tanpa ada kemajuan di dalamnya.

Dari dua aspek di atas, dapat disimpulkan bahwa keduanya sama-sama tidak menguntungkan bagi ulama yang berkontribusi dalam dunia politik, maka dari itu harus ada solusi tepat.

Ulama yang Berpolitik

Ulama yang berpolitik harus memiliki bekal lebih dalam hidupnya. Pertama, iman dan takwa yang kokoh serta mampu konsisten dalam setiap kebaikan dan kebenaran. Kedua, memiliki sifat-sifat kerasulan, yakni shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Ketiga, memiliki pengetahuan yang luas serta dalam pemahamannya. Keempat, mengenal situasi dan kondisi setiap masyarakat. Dan kelima, mampu mengabdikan dirinya untuk masyarakat serta memperjuangkan dan menjalankan hukum-hukum Allah. Inilah yang dinamakan ulama sejati sebagaimana yang dungkapkan oleh Imam Nawawi Al-Bantany.

Berpolitik dengan hanya mengandalkan kemampuan di bidang intelektual dan spiritual saja tidak cukup. Namun harus pula ada bekal yang cukup untuk lebih baik, yakni harta benda yang harus dikorbankan untuk itu. Tentu pula harus harta benda sendiri, tanpa mendapatkan bantuan dari pihak lain. Sebab, tak jarang politisi yang menjabat sebagai pejabat publik, namun untuk menetapkan suatu kebijakan saja harus ada saran dan instruksi dari seseorang yang telah membantunya dalam hal finansial sewaktu masa pemilu.

Kebijakan merupakan hak pemerintah, apabila kebijakan yang diterapkan tidak sesuai dengan hati nurani dan tidak pula disesuaikan dengan kondisi dalam masyarakat, justru akan mengakibatkan kekacauan yang semakin merajalela meskipun dari kalangan ulama sendiri. Sebab kebijakan yang diterapkan merupakan hasil putusan orang yang telah membantunya sewaktu pemilu tersebut, dan kebijakan yang diterapkan itupun terkadang hanya berorientasi untuk kepentingan individu dan kelompoknya saja.

Inilah yang menjadi persoalan bangsa selama ini. Banyak politisi yang kurang memiliki bekal finansial cukup untuk dapat memimpin negeri ini. Akibatnya, kebijakan yang ada pun akhirnya juga hasil dari orang-orang yang dari kalangan elite atas atau bangsawan saja yang memiliki bekal finansial memadai, tanpa ada kontribusi dari yang lainnya. Dari sinilah, ulama sangat membutuhkan peranan penting dari orang-orang baik yang rela sepenuh hati membantu mencapai tujuan yang dikehendaki negara.

Ulama adalah pewaris para nabi (waratsat al-anbiya’). Nabi dulu menjalankan kehidupannya dengan berpolitik. Jadi, ulama juga harus menjadikan contoh nabi sebagai panutannya, yakni dengan mendedikasikan diri untuk negara. Namun yang perlu digarisbawahi adalah kriteria yang paling tepat berada dalam politik. Artinya, siapa yang mampu dan memiliki bekal lebih untuk menghadapi orang-orang yang beragam karakteristik dalam politik. Itulah yang dibutuhkan bangsa saat ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Oleh: Muhammad Ali Fuadi
Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN); Aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Semarang. Tayang di Koran Pelita, 31-12-2013
Tag : Politik
0 Komentar untuk "Siapa Ulama yang Pantas Berpolitik?"

Back To Top