Jahiliyah Modern dan Martabat Perempuan

Oleh: Mufidatun Ni'mah*
Dewasa ini modus korupsi di kalangan pejabat—baik birokrat ataupun politisi—mulai mengalami varian baru dan cukup mencengangkan. Mayoritas modus korupsi yang dilakukan ini telah mengalami pergeseran kepada bentuk yang relatif samar. Gratifikasi (suap) pada pejabat maupun birokrat yang dulunya berwujud uang kini berubah menjadi bentuk pemuasan terhadap perempuan. Gratifikasi dalam bentuk perempuan saat ini memang menjadi salah satu modus yang banyak terjadi di negara ini. Cara yang dilakukan ialah melalui pelayanan seks oleh PSK (pekerja seks komersial). Dengan orientasi pihak yang memberikan gratifikasi tersebut dapat mempengaruhi penerima gratifikasi dalam menentukan kebijakan.

Fenomena seperti ini seolah bukan merupakan hal baru dalam penegakan hukum di Indonesia. Meskipun arahnya berbeda dengan gratifikasi pada umumnya, namun memiliki substansi dan tujuan yang sama yakni korupsi. Perbedaan gratifikasi model lama dengan saat ini terletak pada objeknya. Kalau dulu yang menjadi objek adalah uang, sedangkan sekarang berbentuk pelayanan seksual. Hal ini menggambaran semakin banyaknya strategi dinamis yang tampak pada modus kejahatan korupsi. Sudah tentu hal tersebut harus dimusnahkan karena merusak tatanan negara.

Jahiliyah Modern
Gratifikasi seks merupakan sebuah wujud perlakuan yang merendahkan martabat perempuan. Seakan kita kembali pada zaman kuno, yang mana perempuan dijadikan sebagai hadiah bagi para penguasa dan raja. Senada dengan era zaman jahiliyah, perempuan selalu dianggap rendah dan diposisikan layaknya barang atau komoditas yang bisa dijual, diberikan, dan diwariskan kepada orang lain.
Kini, kita memasuki era modern yang banyak asumsi bahwa penghargaan terhadap perempuan menjadi issu yang sedang digalakkan. Mainstream (tendensi) dalam gender ialah adanya persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki, baik dalam ranah domestik maupun publik. Ini bisa dilihat dari beberapa kebijakan yang ada saat ini. Salah satunya, memberi kuota 30 persen bagi perempuan untuk berpartisipasi dan andil dalam sektor publik. Namun, stigma buruk terhadap perempuan masih selalu ada. Ini terlihat pada grafitikasi seks yang semakin merajalela.

Dengan adanya praktek yang demikian, maka terciptalah terminologi misogini bagi perempuan, yakni dianggap dan dipandang sebagai sosok yang rendah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa misogini merupakan suatu bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Dalam bukunya K.K. Ruthven “Feminist Literary Studies: An Introduction” di jelaskan bahwa “The other error is to argue from the way women are represented in the tragedies – the characterization of Cleopatra tends to be somehow overlooked- that Shakespeare was as much as misogynist as the next man, as some of his sonnets ‘prove’."

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa perempuan sejak zaman dahulu sudah mulai direpresentasikan dengan sosok tragedi. Hal ini merupakan sebuah kesalahan di mana perempuan adalah dianggap sebagai makhluk lemah seperti dalam karakter Cleopatra. Dalam hal ini, Shakepeare dianggap sebagai lelaki yang cukup misoginis dalam pembahasan dan pembuktian sonetanya. Misogini merupakan kecelakaan besar dalam sejarah kehidupan manusia. Sebab, perempuan berada pada posisi yang tidak pernah dipandang apalagi dihargai.

Berkaca pada zaman jahilliyah pra Islam, pada waktu itu masyarakat jahiliyah memperlakukan perempuan jauh dari hak yang dimiliki parempuan. Perempuan dianggap sebagai perwujudan dosa, kesialan, aib dan hal-hal yang memalukan. Masyarakat Arab Jahiliyah kerap kali melakukan penguburan dan pembunuhan bayi perempuan hidup-hidup. Mereka menganggap perempuan sebagai beban sosial dan aib yang merendahkan derajat dan martabat keluarga. Sehingga kejahatan ini terus dilakukan.

Pada zaman sekarang ini juga masih ada praktek misogini, seperti di negara Persia dan Romawi yang menjadikan perempuan sebagai barang perdagangan dan hadiah bagi satu raja  kepada raja yang lain. Hal demikian hampir sama dengan persoalan gratifikasi seks yang marak pada saat ini. Gratifikasi seks menjadi gambaran bahwa mentalitas dan nalar para pejabat masih rendah. Dan bisa disamakan dengan paradigma masyarakat jahiliyah dalam memandang perempuan. Meskipun ini bukanlah fenomena umum, tapi memang inilah kenyataan yang terjadi di negara ini. Tidak sedikit praktek gratifikasi seks ditemukan, dan melibatkan sejumlah pejabat negara kita ini. Inilah bentuk ‘Jahiliyah Modern’ yang tentu harus diperangi.

Pimpin Pemberantasan Korupsi
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) merupakan ujung tombak pemberantasan korupsi di negeri ini, dan diharapkan mampu menyelesaikan semua permasalahan korupsi. Melihat modus korupsi yang semakin dinamis, salah satunya gratifikasi seks memberikan rangsangan kepada KPK sendiri untuk menindaklanjutinya. Kini KPK tengah mengkaji pemberian sanksi bagi penerima gratifikasi seks. Konvensi Internasional yakni United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) inilah yang menjadi rujukan dalam pengkajian gratifikasi seks tersebut.

Terlepas dari itu, Presiden Jokowi selaku pemimpin negara ini harus memimpin pemberantasan korupsi dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan janji kampanye beliau, bahwa korupsi harus dihilangkan dari bumi pertiwi ini. Semua modus korupsi di negeri ini harus dimusnahkan demi perbaikan negara Indonesia, yang saat ini sedang dalam kondisi gawat darurat masalah korupsi.
Mengenai kebijakan yang mengatur tentang gratifikasi sudah tertera pada UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Telah dijabarkan pula pada pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana dan terpaku pada objek-objek yang mengandung nilai rupiah. Padahal realita saat ini banyak birokrat yang menerima gratifikasi (suap) tidak hanya berbentuk uang saja melainkan gratifikasi seks.

Sudah diketahui bersama bahwa substansi umum mengenai pelarangan gratifikasi adalah untuk menghindari adanya praktik korupsi, kolusi, dan manipulasi di kalangan pembuat kebijakan. Namun mengenai gratifikasi seks ini bukan hanya terkait hukum, tetapi juga berkaitan dengan fenomena sosial bangsa ini. Bukan hanya terkait sistem tapi juga nalar sosial yang ada dalam masyarakat. Salah satu cara dengan upaya preventif untuk menghilangkan praktek amoral ini adalah dengan menghukum penerima dan pemberi gratifikasi seks dengan seberat-beratnya. Sebab, selain melakukan tindakan menyalahi aturan negara juga merendahkan martabat perempuan. Wallahu a’lam bi al- shawab.

*) Kabid Pemberdayaan Perempuan HMI Komisariat Dakwah UIN Walisongo Semarang. Tayang di Koran Muria, 12-03-2015
Tag : Gender
1 Komentar untuk "Jahiliyah Modern dan Martabat Perempuan"

boleh niiihh hehehehe
follow back kang ea http://loker-bekasi.tk ditunggu kang ea....

Back To Top