Berirama dengan Agama

Muhammad Ali Fuadi
Perbedaan agama bagi masyarakat Indonesia merupakan hal yang tidak bisa dinafikan. Sebab, Indonesia berada pada negara multikultural, yang di situ memiliki keberagaman agama. Sebut saja agama-agama besar yang ada Indonesia, di antaranya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, serta Konghucu. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia memiliki hak kebebasan beragama dengan menganut kepercayaan masing-masing.
Di sisi lain, agama yang beragam sering menyebabkan perbedaan pandangan dan interpretasi. Perbedaan inilah yang akhirnya menyebabkan timbulnya pemicu permasalahan atau konflik dalam kehidupan bermasyarakat.

Permasalahan yang sering muncul dalam perbedaan agama. Misalnya, agama seringkali dijadikan sebagai tempat dan ajang kompetisi untuk mendapatkan klaim kebenaran sekaligus anggapan paling baik. Anggapan tersebut selalu ingin didapatkan para penganut agama –meskipun dalam hal yang sebenarnya sepele-- semisal dalam memahami dan menerapkan ajaran agamanya. Tak lain adalah penerapannya di dalam lingkungan masyarakat. Banyak penganut agama dalam masyarakat, mereka terlalu fanatik dengan agamannya. Dalam agama yang satu, mereka menganggap ajaran yang benar adalah yang dianutnya. Di sisi lain, agama yang lain juga menganggap ajarannya yang paling benar. Jika demikian, lantas agama mana yang paling benar?

Agama merupakan dogma yang sangat unik, sehingga keunikannya menjadikan manusia mendapatkan kedamaian, kepuasan, keramahan, namun bisa juga menyebabkan malapetaka, kekacauan, bahkan kehancuran. Agama merupakan tongkat utama penunjuk jalan manusia. Itu artinya, agama memberikan pengetahuan serta mengajarkan manusia tentang segala tindak laku yang benar untuk bekal menjalani kehidupan dalam masyarakat.

 Agama merupakan salah satu fenomena yang sangat luar biasa. Ia bisa hidup, bisa saja mati, namun ketika mati, tentu akan lahir kembali. Sebab, agama memiliki nyawa yang sangat banyak bahkan tidak terhitung. Ia bisa menghidupi maupun dihidupi manusia. Ibarat angin, Ia bisa pergi ke mana saja sesuai dengan kehendaknya serta tidak berbatas waktu dan tempat. Sebagaimana yang diungkapkan Komaruddin Hidayat dalam bukunya “Agama Punya Seribu Nyawa”.

Dalam psikologi agama, sebagaimana yang diungkapkan Robert H. Thoules, agama diartikan sebagai cara atau sikap penyesuaian diri terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu.  Dalam hal ini, yang dimaksud adalah dunia spiritual. Itu artinya, agama digunakan sebagai sarana untuk membedakan sikap keagamaan yang bukan dari sikap keragaman, misalnya saja humanisme dan komunisme. Bisa saja seorang bertindak laku baik tanpa harus menjadi pengikut agama, melainkan karena dirinya sendiri yang ingin selalu bertindak baik.

Harun Nasution memberikan definisi agama sebagai kumpulan tentang bagaimana cara mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun dalam kitab, ini dilihat dari isi yang terkandung dan sudut muatan dalam agama. Selain itu, agama merupakan suatu ikatan yang harus dipatuhi dan dipegang dengan baik. Jadi, agama itu menyuruh manusia untuk saling berbuat kebaikan, dan harus memegang teguh nilai-nilai ajarannya, bukan untuk saling menghujat antara agama-agama yang lain. Dan inti terpenting dari ajaran agama adalah untuk mengabdi kepada Tuhan.

Indonesia merupakan negara multikultural, di mana perbedaan merupakan hal yang tak bisa dinafikan dan bahkan sudah merupakan keniscayaan. Negara multikultural merupakan anugerah yang telah diberikan Allah kepada umatnya. Dalam Alquran pun dijelaskan sedemikian rupa tentang perbedaan, Surat Al-Hujurat ayat 13, bahwa Allah menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan, dan kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Dan yang terpenting di sisi Allah adalah ketakwaan umatnya.

Dari situ jelas, sebenarnya perbedaan di mata Allah dianggap sama, hanya amal dan perbuatan saja yang membedakan. Maka dari itu, sejatinya perbedaan dijadikan sebagai alat untuk memperbaiki diri, bukan untuk saling menyalahkan antara yang satu dengan yang lain. Ibarat pelangi, kalau hanya satu warna saja, tentu tak seindah yang kita lihat selama ini.  Begitu juga dengan alat musik, kalau hanya satu macam saja, irama yang dihasilkan pun tidak enak didengar.

Setiap agama tentu memiliki ajaran dan cara yang berbeda dalam beribadah. Jadi, perbedaan merupakan hal yang harus disadari setiap individu masyarakat. Secara umum, agama memberikan persepsi dan ajaran tentang kebaikan, dengan kata lain amar makruf nahi munkar. Ini diberikan agama agar manusia selalu berbuat kebaikan dan selalu menjauhi larangan dari Allah. Sebab, inti ajaran agama adalah memberikan ajaran yang lurus dan pengetahuan baik untuk menjalani kehidupan di masyarakat.

Jika agama dijadikan sebagai alat legitimasi untuk saling meyalahkan, lantas di mana peran agama, dan bagaimana nasib manusia selanjutnya? Untuk itu, agama harus dipahami secara kontekstual, bukan hanya tekstual. Sehingga manusia dapat hidup dengan penuh keindahan tanpa ada rasa saling membenarkan ataupun menyalahkan. Apabila hal tersebut yang diindahkan setiap individu masyarakat, tentu agama akan membawa kehidupan menjadi sholihun fi kulli halin dan menjadi rahmatan lil-‘alamin.

Dengan demikian, yang harus dilakukan para penganut agama adalah melaksanakan hal yang telah diperintahkan oleh agamanya, serta menjauhi segala larangan. Dan terpenting dalam beragama, tidak fanatik terhadap paham agama yang dianutnya. Sebab, kefanatikanlah yang sebenarnya menjadi pemicu utama terjadinya perpecahan. Kalau hanya masalah agama yang selalu diurusi, lantas bagaimana negara ini bisa maju?

Idealnya, dengan perbedaan pandangan tersebut, manusia selalu mencari kekurangan diri sendiri dan selanjutnya memperbaiki diri. Selanjutnya menggunakan akal sehatnya untuk saling membantu antara yang satu dengan yang lain. Hidup kalau hanya sendiri, tentu tak akan berarti apa-apa. Jadi, kehidupan harus diisi dengan saling tolong menolong, bantu membantu, agar kehidupan lebih lengkap serta dapat menyejahterakan rakyatnya.

Dalam konteks Indonesia, yang dibutuhkan adalah kesejahteraan rakyat. Maka dari itu, perbedaan agama dijadikan tempat saling melengkapi kekurangan yang selanjutnya digunakan bersinergi untuk membangun Indonesia. Apabila perbedaan digunakan untuk hal yang baik, pasti akan berakibat pada kemakmuran negara. Sebaliknya, jika dijadikan batu penghalang, kehancuran negaralah yang akan didapatkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.


Oleh: Muhammad Ali Fuadi

Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN); Aktivis HMI IAIN Walisongo Semarang. Tayang di Koran Pelita, 7-2-2014
Tag : Ke-Islam-an
0 Komentar untuk "Berirama dengan Agama"

Back To Top