Saya sering mengambil ilustrasi mengenai
lambang negara kita, Burung Garuda. Kenapa kita sekarang dengan rileks memasang
gambar Garuda di kantor-kantor kita, padahal burung itu adalah kendaraan Dewa
Wisnu? Apakah kita tidak takut musyrik? Tidak, karena garuda itu sudah kita
“bunuh”
begitu rupa sehingga fungsinya sekarang tinggal dekorasi atau ornamen. Sebagai orang Islam, kita memang harus begitu.
begitu rupa sehingga fungsinya sekarang tinggal dekorasi atau ornamen. Sebagai orang Islam, kita memang harus begitu.
Contoh lain adalah lambang kampus
ITB di Bandung, yaitu Patung Ganesha. Itu lebih gawat lagi karena Ganesha adalah
Dewa Ilmu. Apakah para mahasiswa ITB ngalap berkah dari patung Ganesha itu?
Jelas tidak. Mereka memakai jaket dengan gambar Ganesha, tetapi bersembahyang
di Masjid Salman. Mengapa? Karena Ganesha sebagai Dewa sudah “dibunuh” atau sudah
terkena Lâ Ilâha Illallâh. Nah, proses ini penting, dan sebetulnya secara
sosiologis disebut sekularisasi, devaluasi, atau kadangkadang juga
demitologisasi. Dalam garis pikiran seperti itulah almarhum Buya Hamka,
misalnya, pernah menyatakan suatu pendapat bahwa seni patung itu halal, karena hanya
seni. Dulu mungkin orang membuat patung untuk disembah. Tetapi ketika sekarang
orang membuat patung hanya suatu ekspresi seni, itu sah-sah saja. Yang penting dasarnya
ialah Lâ Ilâha Illallâh.
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai
penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new
closed world view which function very much like a new religion. Dalam hal
ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses
pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri,
tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana
yang transendental dan mana yang temporal. Malahan, hierarki nilai itu sendiri sering
terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali. Sekalipun
mungkin mereka tidak mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, namun sikap
itu tecermin dalam tindakantindakan mereka sehari-hari. Akibat hal itu, sudah
maklum cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi, dan menjadi Islamis
sederajat dengan menjadi tradisionalis.
Karena membela Islam menjadi sama
dengan membela tradisi inilah, maka timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah
kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kacamata hierarki inilah, yang di
kalangan kaum Muslimin, telah membuatnya tidak sanggup mengadakan respons yang
wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.
Jadi, sekularisasi tidaklah
dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi
sekularis. Tetapi, dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah
semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.
Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran
suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral, ataupun historis
menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih
memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi”. Fungsi
sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk
menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka
perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan
pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di
hadapan Tuhan.
Tetapi, apa yang terjadi sekarang ialah
bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini sehingga
mengesankan seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak berbuat dan diam.
Dengan kata lain, mereka telah kehilangan semangat ijtihad. Sebenarnya,
pandangan yang wajar dan menurut apa adanya kepada dunia dan masalahnya, secara
otomatis harus dipunyai oleh seorang Muslim, sebagai konsekuensi logis dari
tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya, harus melahirkan
desaklarisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah
serta nilainilai yang bersangkutan dengannya. Sebab, sakralisasi kepada sesuatu
selain Tuhan itulah, pada hakikatnya, yang dinamakan syirik, lawan tauhid.
Maka, sekularisasi itu sekarang memperoleh maknanya yang konkret, yaitu
desakralisasi terhadap segala sesuatu selain halhal yang benar-benar bersifat Ilahiah
(transendental), yaitu dunia ini.
Yang dikenai proses desakralisasi itu
ialah segala objek duniawi, moral maupun material. Termasuk objek duniawi yang
bersifat moral ialah nilai-nilai, sedangkan yang bersifat material ialah
benda-benda. Maka, jika terdapat ungkapan Islam is Bolshevism plus God (Iqbal),
salah satu pengertiannya ialah bahwa pandangan Islam terhadap dunia ini dan
masalahmasalahnya adalah sama dengan kaum komunis (realistis, dilihat menurut
apa adanya, tidak mengadakan penilaian lebih dari apa yang sewajarnya dipunyai
oleh objek itu), hanya saja Islam mengatakan adanya sesuatu yang transendental,
yaitu Allah. Justru Islam meletakkan pandangan dunia (weltanschauung) dalam
hubungannya antara alam dan Tuhan itu sedemikian rupa, sehingga wajar bagaikan badan
dengan kepala di atas dan kaki di bawah (istilah Marx), artinya kepercayaan
kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti pada ajaran
materialisme dialektika.
Tag :
Cak Nur
0 Komentar untuk "Sekularisasi Bukan Sekularisme II"