Sekularisasi Bukan Sekularisme II

Nurcholis Madjid
Saya sering mengambil ilustrasi mengenai lambang negara kita, Burung Garuda. Kenapa kita sekarang dengan rileks memasang gambar Garuda di kantor-kantor kita, padahal burung itu adalah kendaraan Dewa Wisnu? Apakah kita tidak takut musyrik? Tidak, karena garuda itu sudah kita “bunuh”
begitu rupa sehingga fungsinya sekarang tinggal dekorasi atau ornamen. Sebagai orang Islam, kita memang harus begitu.

Contoh lain adalah lambang kampus ITB di Bandung, yaitu Patung Ganesha. Itu lebih gawat lagi karena Ganesha adalah Dewa Ilmu. Apakah para mahasiswa ITB ngalap berkah dari patung Ganesha itu? Jelas tidak. Mereka memakai jaket dengan gambar Ganesha, tetapi bersembahyang di Masjid Salman. Mengapa? Karena Ganesha sebagai Dewa sudah “dibunuh” atau sudah terkena Lâ Ilâha Illallâh. Nah, proses ini penting, dan sebetulnya secara sosiologis disebut sekularisasi, devaluasi, atau kadangkadang juga demitologisasi. Dalam garis pikiran seperti itulah almarhum Buya Hamka, misalnya, pernah menyatakan suatu pendapat bahwa seni patung itu halal, karena hanya seni. Dulu mungkin orang membuat patung untuk disembah. Tetapi ketika sekarang orang membuat patung hanya suatu ekspresi seni, itu sah-sah saja. Yang penting dasarnya ialah Lâ Ilâha Illallâh.

Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan, hierarki nilai itu sendiri sering terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali. Sekalipun mungkin mereka tidak mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, namun sikap itu tecermin dalam tindakantindakan mereka sehari-hari. Akibat hal itu, sudah maklum cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi, dan menjadi Islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis.

Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi inilah, maka timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kacamata hierarki inilah, yang di kalangan kaum Muslimin, telah membuatnya tidak sanggup mengadakan respons yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.

Jadi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi, dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral, ataupun historis menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi”. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di hadapan Tuhan.

Tetapi, apa yang terjadi sekarang ialah bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini sehingga mengesankan seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak berbuat dan diam. Dengan kata lain, mereka telah kehilangan semangat ijtihad. Sebenarnya, pandangan yang wajar dan menurut apa adanya kepada dunia dan masalahnya, secara otomatis harus dipunyai oleh seorang Muslim, sebagai konsekuensi logis dari tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya, harus melahirkan desaklarisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilainilai yang bersangkutan dengannya. Sebab, sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah, pada hakikatnya, yang dinamakan syirik, lawan tauhid. Maka, sekularisasi itu sekarang memperoleh maknanya yang konkret, yaitu desakralisasi terhadap segala sesuatu selain halhal yang benar-benar bersifat Ilahiah (transendental), yaitu dunia ini.

Yang dikenai proses desakralisasi itu ialah segala objek duniawi, moral maupun material. Termasuk objek duniawi yang bersifat moral ialah nilai-nilai, sedangkan yang bersifat material ialah benda-benda. Maka, jika terdapat ungkapan Islam is Bolshevism plus God (Iqbal), salah satu pengertiannya ialah bahwa pandangan Islam terhadap dunia ini dan masalahmasalahnya adalah sama dengan kaum komunis (realistis, dilihat menurut apa adanya, tidak mengadakan penilaian lebih dari apa yang sewajarnya dipunyai oleh objek itu), hanya saja Islam mengatakan adanya sesuatu yang transendental, yaitu Allah. Justru Islam meletakkan pandangan dunia (weltanschauung) dalam hubungannya antara alam dan Tuhan itu sedemikian rupa, sehingga wajar bagaikan badan dengan kepala di atas dan kaki di bawah (istilah Marx), artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti pada ajaran materialisme dialektika.
Tag : Cak Nur
0 Komentar untuk "Sekularisasi Bukan Sekularisme II"

Back To Top