Sikap
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang beberapa film yang berpotensi merusak
moral masyarakat beberapa waktu lalu merupakan tindakan yang patut diajukan
jempol. Hal ini mengingat, bahwa televisi memiliki pengaruh besar terhadap pola,
sikap dan tingkah laku penontonya (baca: masyarakat). Dari siaran televisi
masyarakat akan meniru adegan yang dianggap menarik. Ketertarikan berlebihan akan
mebutakan mata hati, sehingga tidak bisa mebedakan yang mana yang pantas ditiru
atau tidak. Bagi anak-anak pengaruh televisi lebih besar dari pada orang
dewasa.
Sejak
2014 lalu, KPI telah melarang beberapa tayangan televisi termasuk film, film
anak khususnya, karena dianggap dapat memicu tindak kekerasan dan merusak moral.
Tindakan tersebut sebagai bentuk kepedulian pihak pemerintah demi terwujudnya
masyarakat bermoral dan cerdas dengan mengkonsumsi tayangan-tayangan yang
cerdas pula, terlepas dari kemungkinan adanya kepentingan politik industri perfilman
yang terjadi di balik layar. Sebab, beberapa tayangan televisi yang dapat
merusak moral generasi muda masih lanjut tayang hingga kini.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002, tentang penyiaran, pasal 32 ayai 1 menetapkan bahwa isi siaran wajib mengandung
informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas,
watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta
mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Undang-undang tersebut melarang siaran berupa fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Larangan itu tercantum pada ayat 5 dalam pasal yang sama.
Larangan penayangan
Karena dianggap tidak melanggar undang-undang, setidaknya telah
ada lima film kartun anak dilarang tayang. Lima film itu Tom and Jerry, Crayon
Shin-chan, Little Krishna, Spongebob Squarepants dan Bima Sakti (Chhota
Bheem). Jika diklasifikasikan setidaknya ada tiga alasan pelarangan itu.
Pertama, terdapat unsur kekerasan seperti pada film Tom and Jerry, Spongebob Squarepants dan Little
Krishna. Kedua, ada unsur pornografi seperti yang terdapat pada film Crayon
Shin-chan. Sedangkan film Bima Sakti (Chhota Bheem) dianggap
mengandung unsur filosofi yang kurang tepat dan berbahaya jika dilihat anak.
Jika diamati, ketentuan dalam undang-undang tersebut bersifat
menyeluruh. Artinya, sekalipun satu film terdapat filosofi yang baik, akan tepi
menyalahi satu ketentuan maka dianggap tidak layak. Film Spongebob
Squarepants termasuk film yang mengandung banyak kata bijak dalam
komunikasinya. Namun karena terdapat unsur kekerasan dalam tingkah laku yang
diperankan aktornya, akhirnya film itu dilarang. Begitu juga dengn Tom and
Jerry. Kecerdikan Jerry yang selalu mengalahkan Tom mungkin dapat
menginspirasi sebagian tentang pentingnya sebuah kecerdikan dan siasat dalam
hidup. Film itu akhirnya juga dilarang karena jamak praktek kekerasan di
dalamnya. Kini, film-film itu harus mangkrak di “gudang” kantor pertelevisian.
Anak merupakan calon penerus bangsa di kehidupan
mendatang. Oleh karenanya, mulai sejak dini mereka harus selalu diarahkan pada
hal yang positif. Termasuk yang mereka tonton harus bersifat mencerdaskan. Membiarkan
menonton film yang disenangi namun mengandung hal negatif merupakan tindakan
yang tidak baik mengingat seorang anak memiliki sikap yang cendrung meniru. Di
usia yang masih polos, mereka belum bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk,
yang positif dan negatif, dan yang mana boleh dilakukan atau ditinggalkan.
Membiasakan anak menonton film yang berbau kekerasan atau porno akan
menyebabkan mereka berlaku keras dan porno, hari ini, besok atau kelak.
Secara utuh setiap film mesti mesti
memiliki nilai filosofis yang baik. Film merupakan hasil dari konstruksi pikiran
lewat cerita atau narasi dari realitas lingkungan sosial si pembuat film. Lewat
alur cerita yang disajikan, kecerdasan si pembuat dapat terlihat. Namun, yang paling penting, nilai-nilai
positif dalam sebuah harus lebih nampak
dari pada kemungkinan adanya nilai negatif yang tidak diduga. Saya yakin, Stephen
Hellenburg punya maksud baik ketika membuat Spongebob Squarepants jika
dilihat dari komunikasi aktornya di dalamnya yang selalu mengandung kata-kata
bijak. Hanya saja, suguhan unsur kekerasan lewat lakon para aktor dinilai lebih
berpengaruh hingga akhinya dianggap melanggar undang-undang penyiaran di
Indonesia.
Sebagai
media komunikasi, setidaknya tayangan televisi tidak boleh keluar dari tiga
hal: pertama, media informasi. Film yang bermuatan sejarah akan membantu
masyarakat untuk memahami sejarah tanpa harus membaca buku. Film Soekarno,
misalnya, akan membantu masyarakat mengetahui tentang sejarah Indonesia
terutama mendekati detik-detik kemerdekaan sampai perumusan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kedua,
media pendidikan. Banyak pengetahuan yang bisa didapat dari film. Selain
menambah ilmu film yang bermuatan pendidikan akan menjadi inspirasi bagi
masyarakat. Sebut saja film Laskar Pelangi atau Negeri Lima Menara.
Kedua film itu mengandung muatan pendidikan yang banyak dan dapat menginspirasi
dan juga menyadarkan masyarakat akan pentingnya sebuah pengetahuan. Ketiga, media hiburan. Situasi sosial
yang kerap membuat masyarakat mengernyitkan dahi dan geleng kepala dapat direfresh
dengan tayangan-tayangan komedi. Komedi yang cerdas akan mendidik masyarakat menjadi
cerdas. Sebab, seorang komedian perlu memutar otak untuk bisa menghibur. Dari
sana kita akan belajar pentingnya memaksimalkan fungsi pikiran.
Kepekaan
KPI dalam menimbang layak dan tidaknya tayangan televisi di Indonesia
diperlukan untuk membantu perbaikan moralitas di masyarakat khususnya para
remaja. mereka yang bermoral dapat dinilai dari cara mereka bersikap dan
berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu, mereka yang menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur budaya bangsa. Sebagaimana diketahui, bangsa Indonesia
memiliki karakter yang khas: berketuhanan, berprikemanusiaan, adil, gotong
royong, toleransi, santun dan tengga rasa satu sama lain. Inilah tolok ukur
kita dapat dianggap bangsa yang baik selain tetap menjaga keutuhan NKRI.
Bagaimana
denga film sinetron yang hampir memenuhi seluruh jagad televisi setiap hari? Cara
hidup kalangan remaja masa kini yang kerap menyimpang dari agama moral
sepertinya merupakan hasil adopsi dan imitasi dari sinetron.
Bagaimana KPI seharusnya bersikap?
*) Miftahul
Arifin
Pecinta film tinggal di kampoeng IDEA Studies
UIN Walisongo Semarang. Tayang di Koran Wawasan, 20 Januari 2015
Tag :
Moralitas & Budaya
0 Komentar untuk "Tayangan Televisi dan Sikap KPI"