Mendambakan Pemimpin Altruistik

Mendambakan Pemimpin Altruistik
Oleh: Saiful Anwar*
Seorang pemimpin dapat dianalogikan seperti lebah yang perduli terhadap kawannya. Dibuktikan oleh para ilmuan biologi di Amerika, bahwa Lebah madu merupakan seekor binatang yang berkepribadian neo-egoisme. Hal tersebut telah ditemukan oleh Current Biology bahwa, lebah madu memiliki sifat berbagi terhadap sesama, meskipun dalam situasi runtuhnya koloni-pun. Namun lebah tetap peduli dan cenderung mendahulukan kepentingan lainnya dibanding dirinya sendiri. Pribadi demikian nampaknya harus dimiliki setiap insan pemimpin. Terlebih saat ini yang telah memasuki detik-detik Pemilihan Presiden (PILPRES).

Semasa kampanye, para capres biasanya mengklaim dirinya sebagai figure yang mampu membawa bangsa menjadi lebih baik. Mereka mengampanyean dirinya sebagai pahlawan penyelamat bangsa, mampu membuat rakyat menjadi sejahtera, dan memberikan keaman yang lebih terhadap masyarakat. Namun, yang perlu kita kritisi, apakah janji manis tersebut dilontarkan guna menarik simpati masyarakat ataukah memang ditepati untuk rakyat. Mereka semua merasa mampu dalam menangani permasalahan negara yang kian menumpuk. Karena, kebanyakan pemimpin saat ini hanyalah heroisme simbolistik bukan heroisme kenyataan, pepesan kosong (gedobos).

Sering kita temui, kebanyakan pemimpin negara kita adalah kontra terhadap rakyat dan kurang piawai dalam mengelola pemerintahan. Mereka hanya menyibukkan diri dengan politik pencitraan. Pemimpin kita memandang masyarakat hanya sebagai objek yang didulang suaranya saat pemilu, bukanlah objek yang berhak mendapatkan kesejahteraan sosial-ekonomi. Hal-ini bisa kita tengok ketika bangsa kita tertimpa musibah. Seperti, banjir bandang yang terjadi di beberapa wilayah Ibu Kota, gunung meletus. Kita tanya, di mana pemimpin-pemimpin kita? apakah mereka bersembunyi dibalik layar? Tapi apa yang kita lihat, adanya hanya saling menyalahkan antar lembaga satu dengan lembaga lain. Hal yang sangat lucu ketika rakyat berduka, para pejabat elit hanya duduk manis di atas kursi goyangnya. Sungguh payah.

Memprihatinkan! 
Ironis sekali, melihat pemimpin yang seharusnya menjadi cermin ke-tauladanan serta pengayoman bagi masyarakat, justru keadaannya berbanding terbalik. Kerap kali mereka meresahkan rakyat, sehingga masyarakyat semakin terpuruk dalam kesengsaraan. Sebab, tidak sedikit dari para politisi saat ini yang kian keliru. Seperti, hidup bermewah-mewahan dan melakukan tindak korupsi yang semakin diperbudayakan dalam kalangan birokrat. Lebih-lebih mereka hidup untuk dirinya sendiri. hal demikian tidak salah, jika dikatakan bahwa seorang pemimpin tersebut belum mampu Mengayomi serta Menyejahterahkan Masyarakat (MERAKYAT).

 Secara kasat mata, bahwa para elit seperti itu tidak layak dianggap seorang pemimpin. Apalagi patut untuk dijadikan pemimpin rakyat. Dengan keadaan yang demikian, maka saat ini Indonesia benar-benar mendambakan pemimpin altruistik. Sebab, pemimpin altruistik akan mau dan mampu mengerti keadaan masyarakat. Secara etimologi, altruistik  dapat diartikan sebagai pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. Memang bisa dikatakan sulit untuk menjumpai Pemimpin Altruistik,. Karena kebanyakan pejabat saat ini dalah pemimpin yang sesat.

Seorang pemimpin yang keblinger tersebut seharusnya instropeksi dan mengkaji tentang sejarah. Sebab, bangsa ini tidak bisa lepas dari upaya foudhing father yang rela mati-matian mengorbankan jiwa dan raganya dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Sikap keblinger yang dilakukan para petinggi negara ini disebabkan karna mereka terlalu menganggap mudah amanah tersebut, bukan sebagai tugas yang memang untuk masyarakyat. Secara sempit, mengemban amanah hanya diartikan sebagai pemimpin yang memilki tugas. Tetapi, dalam realitas yang nyata, tugas tersebut tidak dilakukan. Seperti, melakukan tindakan korupsi, dan bersikap hedonistis. Terlebih para pemimpin hanya memfikirkan dirinya sendiri. Ini merupakan salah satu kesalahan para elit politik yang tidak mencerminkan kepemimpinan yang baik terhadap mayarakat. Apakah seorang pemimpin tega memakan uang negara, uang rakyat. Apakah seorang pemimpin harus  bersikap hedonistis, benarkah pemimpin itu yang memikirkan perutnya sendiri.

Dengan modus sesat seperti ini, membuat para petinggi negara tidak menyadari kesalahnya. Beda lagi dengan pemimpin yang mengedepankan tanggung jawab atas tugas yang harus dilakukan untuk rakyat. Seperti keterangan awal tadi, pemimpin bisa dianalogikan seperti lebah madu. Seekor mahluk Tuhan yang memilki rasa keperdulian yang begitu tinggi terhadap sesamanya. Jangankan pada saat bisa, dalam keadaan terjepit-pun, makhluk Tuhan yang kecil ini lebih memperhatikan sesamanya daripada dirinya sendiri. Melalui kepribadian tersebut, dapat dipastikan pemimpin akan mampu mengayomi dan memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat. Karenanya, bagi pemimpin amanah merupakan tugas yang harus dipikul sekuat tenaga demi mewujudkan cita-cita masyarakat.

Perlu diTambah
Tidak cukup dengan berkepribadian altruistis. Selain itu, hidup berprilaku baik harus dimilki para pejabat negara saat ini. Tugas lain yang harus dilaksanakan pemimpin adalah menyejahterakan rakyat, serta menciptakan masyarakat yang loh-jinawi dengan ikhlas tanpa pamrih. Toh? Yang dilakukan untuk rakyat sendiri.

Seperti yang telah diajarkan oleh Sunan kalijogo dalam suluknya yang berjudul “Gundul-Gundul Pacul”. Lagu tersebut memberikan pedoman dan etika tentang apa yang harus dilakukan seorang pemimpin. Gundul yang berarti kepala plontos tanpa rambut. Ini bermakna, kepala merupakan lambang kehormatan, dan rambut adalah mahkota. maka bisa diartikan bahwa “gundul” merupakan kehormatan tanpa mahkota. Sedangkan “pacul”, yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi dengan bentuk segi empat. Ini mengisyaratkan bahwa seorang petani merupakan lambang kaum rendah, karena pekerjaan petani adalah merunduk. Bisa ditarik kesimpulan, makna dari “gundul pacul” adalah seorang pemimpin bukalah orang yang diberi kehormatan, tetapi diberi pacul untuk mencangkul demi mengupayakan kesejahteraan rakyat.

Memang bisa dikatakan bahwa pemimpin sekarang bersifat “gembelengan”. Dalam suluk ini, gembelengan berarti pemimpin yang sombong dan bermain-main dengan jabatannya. Hal ini, dikarenakan banyak pemimpin yang lupa dengan tugasnya. Akan tetapi, jika para pemimpin tersebut Jamil. Maka, mereka akan “nyunggi wakul” dengan baik. Secara etimologi jawa “nyunggi” berarti memikul. Sedangkan “wakul” adalah simbol kesejahteraan rakyat dan kekayaan negara, karena di dalam “wakul” berisi “Sego”. Artinya bahwa kepala yang mereka anggap kehormatanya berada dibawah “wakul” rakyat.

Pesan yang dituangkan oleh Sunann Kalijogo dalam suluk ini adalah. Janganlan menjadi pemimpin yang “gembelengan”. Jika pemimpin tersebut “gembelengan”, maka “sego” dalam “wakul” yang di “nyunggi”akan jatuh dan tumpah ke mana-mana. Kesenjangan ada dimana-mana. Nasi yang diartikan sebagai kesejahteraan rakyat tumpah di tanah tidak bisa dimakan lantaran karena kotor. Maka tugas yang dilaksanakannya telah gagal dalam mengemban serta mewujudkan amanah rakyat.

*) Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN); Aktivis HMI Komisariat Syariah IAIN Walisongo Semarang
Tag : Politik
0 Komentar untuk "Mendambakan Pemimpin Altruistik"

Back To Top