Pemilukada Penuh Dilema

Oleh: Nur Kholis*
Semenjak Koalisi Merah Putih saat Pilpres 2014 mengusung pasangan Prabowo-Hatta tentang wacana kepala daerah yang dipilih oleh Dewan Pimpinan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Tanpa diduga wacana ini memiliki daya tarik terbesar di dalam kancah politik saat ini.

Berbagai tanggapan bermunculan dan sebagian besar menolak keberadaan wacana tersebut. Alasan diusungkan melihat pemilukada dengan sistem demokrasi yang berjalan dinilai mengalami kemunduran.

Koalisi Merah Putih dalam mengusung wacana itu karena prihatin atas fenomena banyaknya kepala daerah yang tersangkut pidana korupsi. Demikian ini dibuktikan melalui data menurut Kemendagri, sejak 2005 sampai Februari 2014, sebanyak 318 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. Terbilang angka fantastis ditengah upaya pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan. Selain itu, mereka juga memiliki alasan lain dengan melihat biaya operasional saat diselenggarakan pemilukada langsung jelas akan menghabiskan ongkos ekonomi dan sosial-politik yang sangat besar. Dua argumen sebagai kekuatan dalam mengusung wacana untuk mengembalikan pemilukada secara tidak langsung melalui DPRD.

Sebagaimana kita tahu, pemilukada langsung pertama kali tahun 2005 pascapengesahan UU no. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan beberapa kali dilakukan pemekaran daerah. Fenomena keberadaan pemilukada realitanya dari model yang sifatnya elititis ke sifat yang populis. Sesungguhnya memiliki harapan dan cita-cita yang luhur dalam memberi rona pembangunan demokrasi karena rakyat diharapkan berpartisipasi aktif. Artinya, baik dan tidaknya arah pembangunan negara tergantung bagaimana antara pemerintah dan rakyat sejalan sesama dalam menata visi dan misi. Sehingga, ketika kondisi pembangunan negara mengalami penurunan tidak sepenuhnya kesalahan ditimpakan kepada pemerintah saja. Sebaliknya, rakyat memiliki dosa pula dalam hal itu.

Pemilukada langsung erat dengan implementasi otonomi daerah. Merupakan arah menuju konsolidasi demokrasi dan pemberdayaan politik lokal. Sayangnya idealitas yang tidak sesuai dengan realitas. Pemilukada yang diharap bisa mendobrak semangat rakyat untuk berpartisipasi aktif, atau demokrasi partisipatoris. Tidak disangka dari kaum elit politik mengesernya menjadi demokrasi terjaga (patronage democracy) dengan isu agama, etnis, keluarga, dan kelompok yang digunakan sebagai instrumen hegemoninya. Jadi, pemilukada langsung bukan untuk pesta rakyat, tetapi pesta elit politik dan patron-patronnya.

Sisi lain dari pemilukada langsung ternyata mengandung paradoks dari tujuan awal desentralisasi. Pasalnya, dari kekuasaan dan intervensi partai politik yang memiliki kedudukan sentralistis di tingkat pusat dalam upaya rekrutmen kepala daerah. Membuat desentralisasi dalam pengelolaan pemerintah daerah berjalan terpisah. Dimana, pemerintahan daerah tidak memiliki kewenangan penuh terhadap wilayah kekuasaannya.

Oleh sebab itu, celah pemilukada langsung ini harus segera diperbaiki, dalam rangka tidak terjadi salah arti dalam memahami demokrasi. Para elit politik daerah memiliki kesempatan dalam memperkuat hegemoni politik lokal yang memngakibatkan pada sistem yang semakin rusak, karena korupsi, dinasti politik, politik patronase, dan eksploitasi sumber daya alam secara terus-menerus sulit dikendalikan karena kompleksitas permasalahan.

Perlu kita mengerti juga, di balik wacana Koalisi Merah Putih pemilukada tidak langsung dari DPRD bukanlah tanpa masalah. Dalam catatan sejarah membuktikan kiranya, fenomena pemilukada dengan model ini mempunyai kekurangan yang cukup besar. Fenomena legislatif heavy yang marak terjadi akan semakin masif. Partai politik memiliki kekuasaan besar dalam menentukan kebijakan daerah. Sementara, DPRD dalam kontaks ini akan lebih leluasa, karena mendapat dukungan penuh dari partai politik tersebut, sehingga masyarakat dalam kondisi semacam ini akan kewalahan untuk mengkontrol kinerja DPRD karena kekuasaan mereka bertambah besar.

Jalan Alternatif
Melihat semakin rumit wacana pemilukada langsung ke tak langsung ditengah dilema politik jalan solusi merupakan keharusan. Dengan tidak memandang terlebih dahulu dari segi baik dan buruk dari masing-masing kubub pertentangan. Perlu keberanian dalam melakukan spekulasi terutama dalam menghidupkan kembali desentralisasi dalam setiap pemilukada, terkhusus pemilukada langsung. Di samping itu, peranan sentral yang dimiliki oleh partai politik dalam sistem demokrasi ini harus memperoleh perhatian serius. Sebab, dari keberadaan partai politik ini mempunyai peran signifikan dalam proses membangun ruang publik dan membangkitkan partisipasi politik masyarakat.

Langkah pertama terkait partai politik, yakni merubah model koalisi pemilukada. Biasanya, umum yang terjadi di daerah berupa koalisi cair perlu diubah mengikuti arus politik nasional. Pusat harus bisa menjadi trendmaker di daerah. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi terjadi dualisme “loyalitas” kepala daerah. Dan juga berfungsi dalam meminimalisir terjadinya dinasti dan patronase politik di daerah.

Keputusan final dari setiap pimpinan nasional partai yang menentukan dalam mengusung calon kepala daerah mulai kini harus dirubah. Sebab, dilihat dari partai politik di daerah terkesan tidak memiliki peran apapun. Semua keputusan tergantung dari atas, sementara keberadaan di bawah mubadzir. Maka, dalam hal ini partai politik di daerah harus diberi otonomi dalam menentukan calon kepala daerah. Bukan lagi keputusan final dari pimpinan naional partai.

Maka, dengan terbentuknya demikian diharapkan mampu mendobrak kembali semangat masyarakat dalam berpartisipasi aktif. Sebab, partisipasi politik masyarakat merupakan kunci perubahan di daerah. Pembukaan ruang-ruang politik masyarakat akan menciptakan kontrol yang kuat dan pmbangunan sesuai kebutuhan daerah. Wallahu ‘alam bi alShawab 

*) Director Of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Kota Semarang. Tayang di Koran Pagi Wawasan, 21-9-2014
Tag : Politik
0 Komentar untuk "Pemilukada Penuh Dilema"

Back To Top